Goosebumps Series 2000 RL. Stine Jeritan Kucing Setan ( Cry of The Cat ) Selamat datang di abad baru Dunia Horor Goosebump 2000 Dalam cahaya bulan purnama kulihat kucing itu terlentang. Kepalanya tergolek ke satu sisi, keempat kakinya mencuat ke udara. Bahkan dari jendela kamarku di ataspun aku bisa mengenalinya. Kucing itu Rip. Tanpa aku perlu ke bawahpun aku tahu bahwa aku telah membunuhnya lagi. Untuk ketiga kalinya. 2000 kali lebih syereeem Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Selatan 24-26 lt. 6 Jakarta ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Convert & Re edited by: Farid ZE blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu 1 KUCING itu membuka mulutnya dan mengeluarkan lengkingan marah yang nyaring. Tetes-tetes liur berwarna putih menitik di taringnya yang melengkung. Sepasang mata kuningnya berkilauan seperti lampu mobil. Sambil melolong, kucing itu melengkungkan punggungnya. Bulunya yang berwarna gelap berdiri seperti kena setrum. Lolongannya berakhir dengan satu desis menakutkan. Sepasang matanya yang oval sekarang lebih menyala. Begitu terang, hingga gadis yang ketakutan itu membalikkan tubuh. Ia menarik adiknya ketika si kucing sekali lagi meraung nyaring. Mereka mundur tertatih-tatih, hingga akhirnya membentur dinding. "Dia... dia makin besar," kata si gadis terbata-bata, menunjuk dengan satu jari gemetar. Jeritan kucing itu terdengar seperti sirene mobil polisi. Lalu makhluk itu melompat berdiri dengan kaki belakangnya, cakarnya mengoyak udara. Kuku -kukunya yang runcing melengkung dari balik bulunya. Air liurnya menetes ke lantai kamar tidur ketika dengan seringai lapar ia menjilat ujung taringnya dengan lidahnya yang ungu. Lalu sekali lagi lengkingannya berakhir dengan satu desisan panjang dan marah. Sementara cakarnya masih terus membelah udara, kucing itu semakin besar. Kaki belakangnya bertambah panjang. Tubuhnya juga menggelembung. Matanya yang berkilat-kilat seperti menyala di atas mulutnya yang menganga. "Dia bukan kucing. Dia monster!" bisik si gadis. Dicengkeramnya erat-erat bahu adiknya, hingga si anak laki-laki menjerit. "Lari!" seru adiknya. Si gadis berbalik ke pintu kamar. Kucing yang marah itu menghalangi jalan mereka. Pintu rasanya begitu jauh. Si kucing mengangakan mulutnya dan melengking lagi. Sekarang ia sudah lebih tinggi dari lemari, dan bayangannya menutupi kedua anak itu. Si kucing mengayunkan satu cakar raksasanya dan melangkah mengendap-endap ke arah mereka. "Dia mau memakan kita!" seru si anak lelaki. Si gadis tercekat, tapi tidak menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian mendorong adiknya ke pintu dengan dua tangan. "Pergi... sekarang!" Si anak lelaki melesat ke pintu kamar. Lengkingan kucing itu berubah menjadi raungan. Si gadis mendorong adiknya lagi, berusaha meloloskannya dari cakar yang mengayun-ayun itu. "Tidaaaak!" Si gadis menjerit ngeri ketika kucing raksasa itu meraih pinggang adiknya dengan cakar-cakarnya. "Lepaskan! Lepaskan!" Ia berusaha menarik adiknya. Tapi si kucing tetap mencengkeram anak itu, lalu merendahkan kepalanya, dan membenamkan taring-taringnya yang panjang dan basah ke bahu si anak. "Hentikan! Hentikan! Aduh... tolong hentikan!" Teriakan Tanner membuatku terkejut. Sesaat aku terpaku, lalu aku berlari ke kamarnya dan mematikan VCR itu. Layar TV sekarang kosong. Aku menoleh kepada Tanner. Ia duduk di tepi tempat tidur, memeluk lutut dengan gemetar, seperti seekor tikus kecil. "Tanner, ada apa sih?" tanyaku. "Kenapa kau menyewa film seram begitu? Kau kan tahu, kau pasti ketakutan menontonnya." "Aku... aku tidak takut," ia terbata-bata dengan suaranya yang kecil. Dasar pembohong! "Mungkin aku... takut sedikit," akhirnya ia mengaku sambil menunduk ke lantai. Aku kasihan sekali padanya. Ingin aku memeluknya. Tapi Tanner tidak akan mau. Memang aneh, tapi begitulah dia sekarang. "Aku tidak tahu filmnya seseram itu," katanya sambil menggelengkan kepala. "Gambar di kotaknya tidak terlalu seram." "Apa judul film itu?" tanyaku. "Jeritan Kucing Setan." Aku hampir tertawa. Tanner benar-benar seperti seekor tikus kecil. Ia memang mungil dan kurus. Rambut hitamnya dipotong pendek sekali, seperti bulu tikus, dan gigi depannya menonjol seperti gigi tikus. "Film begitu tidak cocok untuk anak lima tahun," aku memarahinya. "Kenapa tidak menyewa film kartun saja? Kenapa sih kau senang menakut-nakuti dirimu sendiri?" Aku melihat arlojiku. "Wah, aku harus pergi." "Alison?" panggil Tanner pelan, masih sambil memeluk lutut. "Mau tolong aku, tidak?" "Tolong apa?" tanyaku. "Cepatlah, Tanner. Aku mesti bertemu Ryan. Kami sudah terlambat untuk latihan." "Kau mau tidak nonton film itu sampai habis?"bisiknya. "Ha? Apa?" seruku. "Kau mau tidak, nonton menggantikanku? Aku ingin tahu akhir ceritanya." Aku jadi ingin memeluk adikku ini lagi. Ia lucu sekali. Semua temanku suka padanya dan ingin ia menjadi adik mereka. Kadang-kadang aku tidak tahan dan suka mencubit pipinya atau menarik telinganya. Aku tahu ia tidak senang diperlakukan begitu, tapi ia manis sekali sih. "Mungkin nanti," kataku. Bel pintu berdering. "Itu Ryan. Aku mesti pergi". Aku beranjak kembali ke pintu. "Kau tidak apa-apa, kan?" Tanner mengangguk. "Coba aku punya kucing," katanya pelan. "Ha? Kenapa kau mau punya kucing?" tanyaku. Ia nyengir penuh arti. "Supaya dia memakan semua tikusmu." Aku tertawa. Tanner selalu menyindir tentang koleksi tikusku. Aku punya ratusan boneka tikus di kamarku. Tikus dari kain, dari porselen, dari tanah liat, tikus yang bisa diputar.... "Bye," kataku. "Alison, selamat bertikus ria!" seru Tanner. Begitulah lelucon kebanggaannya. Ia menciptakannya sendiri. Ia selalu mengatakan selamat bertikus ria padaku. Memang konyol, tapi lumayan untuk ukuran anak lima tahun. Aku bercermin dulu. Penampilanku lumayan. Rambutku hitam panjang dan lurus, dan mataku bulat besar, berwarna zaitun. Hidungku terlalu panjang dan lancip, tapi kata Mom wajahku nanti akan menutupi hidungku. Apa sih maksudnya? Aku tidak mengerti. Kusikat rambutku cepat-cepat, lalu aku bergegas keluar untuk menemui temanku, Ryan Engel. Ryan sudah menunggu di atas sepedanya. Ia sedang menyisir rambut cokelatnya yang bergelombang. Ryan bangga sekali pada rambutnya. Melihatku datang, ia memasukkan sisirnya ke saku celana dan tersenyum lebar padaku. Ryan cowok yang ganteng dan ia tahu itu. Tapi ia juga punya rasa humor yang oke; selain itu, ia pintar dan baik hati. "Ta-daaaa!" serunya ketika aku menarik sepedaku dari garasi. "Ini dia... Alison Moore yang terkenal. Hadirin harap membungkuk memberi hormat." "Ah, sudahlah," gumamku. Aku naik ke sepedaku yang baru, hadiah ulang tahunku yang kedua belas beberapa minggu lalu. Sepeda ini banyak sekali giginya, dan aku belum menguasainya. Sepeda lamaku tidak mempunyai gigi. "Kau sudah hafal dialogmu?" tanyaku pada Ryan, sementara kami bersepeda menuruni bukit. Aku memasang gigi sepedaku. "Sedikit," sahutnya. "Kau mesti membantuku mengingat sisanya." "Ha? Mana bisa aku mengingat dialogmu?" seruku. "Dialogku saja sudah cukup memusingkan." Aku mengerem untuk mengurangi laju sepeda, karena turunannya semakin landai. Ryan dan aku memegang peran utama dalam drama sekolah kami. Drama musikal yang ditulis oleh guru musik kami, Mr. Keanes. Aku berperan sebagai putri raja di sebuah kerajaan khayalan. Ryan menjadi pencuri yang masuk ke puri dengan menyamar sebagai pangeran. Ia mencuri permata kerajaan, tapi akhirnya aku jatuh cinta padanya. Drama itu berjudul Putri Raja dan Pencuri Permata. Ceritanya lucu sekali, tapi dialognya juga baaaanyaaak sekali. Belum lagi lagu-lagunya. Ryan dan aku berusaha keras menghayati peran kami. Kami selalu berlatih menyanyikan lagu-lagunya sambil bersepeda delapan blok ke sekolah. Sekarang pun kami mulai menyanyi sambil menambah kecepatan, melaju di tengah Broad Street. Jalanan itu menurun, jadi tak mungkin bersepeda pelan-pelan. "Selamat datang ke puri," kami menyanyi. "Kami tahu kalian akan senang di sini." Aku siap-siap menyanyikan baris berikutnya, tapi tak ada nada yang keluar. Kulihat van merah itu melesat ke arah kami di tengah jalan. Lalu sebuah sosok samar berwarna kelabu berkelebat di depan sepedaku. Seekor kucing? Ya. Tak ada waktu untuk menghindar. Aku mencoba mengerem, tapi tanganku meleset dari setang. Tidak! Kucing itu melompat di depanku. Aku merasa roda depanku menabrak sesuatu yang keras, lalu terdengar lengking kesakitan. Semuanya terjadi begitu cepat. Tapi aku melihat seluruh kejadiannya. Kucing itu ada di bawah roda sepedaku. Tergilas. Kepalanya... kepala kucing itu... melayang lepas dari tubuhnya. Aku melihat matanya yang terbelalak dan mulutnya yang menganga terkejut. Aku melihat kepalanya melayang di udara. Lalu aku terjatuh dari sepedaku. Jatuh terbanting ke trotoar. Dan mendarat miring di lenganku. Klakson van merah itu terdengar nyaring di telingaku. Ban-bannya berdecit. Sudah terlambat. Sudah terlambat. Sudah terlambat. 2 AKU memejamkan mata. Rasa sakit yang tajam merambati tubuhku. Lalu hening. Hening semuanya. Aku masih bernapas. Aku masih berada di sini. Dengan hati-hati aku membuka mata dan berkedip beberapa kali. Sepedaku jatuh menimpaku. Van itu berhenti beberapa meter dariku, bagian depannya naik ke trotoar. Pintu van terbuka. Seorang wanita dalam sweater kelabu melompat keluar dan berlari ke arahku. "Alison, kau tidak apa-apa?" tanya Ryan. Ia mengangkat sepeda yang menindih kakiku. Roda depan sepeda benar-benar hancur. "Y-ya, aku tidak apa-apa," sahutku tidak yakin. Aku duduk dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menggelengkan kepala untuk mengusir rasa pening. "Aku melihatmu jatuh dari sepeda," seru wanita itu dengan terengah-engah. "Syukurlah aku bisa berhenti pada waktunya. Ia membungkuk di dekatku. "Kau terluka? Mau kuantar pulang? Atau kita perlu memanggil ambulans?" "Kurasa aku tidak apa-apa," erangku. Lalu aku bangkit berdiri dengan limbung. "Apa yang terjadi?" tanya Ryan yang masih memegangi sepedaku. "Kucing itu!" seruku. "Aku menabraknya dan..." Aku gemetar teringat sosok di bawah roda sepedaku tadi. Juga ekspresi terkejut di wajah kucing itu ketika kepalanya terbang di jalanan. "Aku membunuhnya!" ratapku. "Kepalanya putus. Kucing itu..." "Maksudmu kucing yang itu?" Wanita itu menunjuk ke sosok seekor kucing kelabu yang terbaring miring dengan kaki dan tubuh lemas. Aku tidak melihat kepalanya. Sambil tercekat ngeri aku bergegas ke jalan dan berlutut di samping kucing itu. Kepalanya masih ada, menempel di tubuhnya. Di belakang telinga kiri kucing itu ada bulu putih berbentuk segitiga. Matanya yang kuning terbuka dan menatap kosong ke arahku. "Apa dia masih bernapas? tanya Ryan. Aku menekankan tanganku ke dada si kucing. Tidak. Tidak ada detak jantung. Perutku bergolak. Aku menelan ludah, berusaha menahan rasa mual. Ryan berlutut di sampingku dan dengan hati-hati mengangkat kucing itu. "Mungkin dia tidak apa-apa," gumamnya. "Mungkin..." Kucing itu tergeletak lemas di pelukan Ryan. Matanya menatap kosong. "Dia mati," kataku dengan bisikan tertahan. "Dia mati. Aku yang menabraknya. Aku yang membunuhnya." Wanita itu menyentuh bahuku. "Kau yakin kau tidak apa-apa? Aku harus pergi. Anakku sedang menunggu dijemput." Aku mengambil kucing itu dari Ryan dan membuainya di pelukanku. Lalu aku berdiri. Kakiku yang tadi tertindih sepeda masih terasa sakit, tapi di luar itu semuanya baik-baik saja. Aku berpaling pada wanita itu. "Aku tidak apa-apa," kataku. "Sungguh." Ia mendesah lega, lalu naik ke van-nya dan memundurkannya. Ia melambai, lalu pergi. Tampak bekas-bekas hitam di jalan, di tempat ia tadi menginjak rem dengan mendadak. Aku merinding. Nyaris saja... Kupandangi kucing yang sudah mati itu. Mulutnya terbuka dan lidahnya yang merah jambu menyembul keluar. "Kita mesti mencari pemiliknya," gumamku. "Dia... ia lari persis di bawah sepedaku. Aku tidak bisa menghentikannya. Kau melihatnya tadi. Itu benar-benar bukan kesalahanku." Ryan melihat arlojinya. "Kita sudah terlambat untuk latihan," katanya. "Mr. Keanes pasti akan marah." "Kita tidak bisa meninggalkan kucing mati ini begitu saja di jalanan," kataku. "Kita mesti menemukan pemiliknya. Aku mesti menjelaskan apa yang terjadi." "Apa dia memakai kalung pengenal?" tanya Ryan. "Rasanya tidak." Sebuah rumah besar dan tua di seberang jalan menarik perhatianku. "Lihat, pintu depannya terbuka," kataku pada Ryan, sambil menunjuk rumah itu. "Aku yakin kucing ini lari keluar dari rumah itu." Kami sama-sama memandang ke arah rumah tersebut. "Kelihatannya seram," kata Ryan. "Seperti rumah dalam cerita horor." Benar juga. Rumah itu agak tersembunyi oleh sebatang pohon tumbang dan semak-semak liar yang tinggi. Di bagian yang catnya sudah mengelupas tampak bata-batanya yang merah. Salah satu jendela di atas tidak berkerai lagi. Salah satu jendela di samping tidak berkaca dan sebagai gantinya ditutup dengan kertas koran. Aku membungkus mayat kucing itu dengan jaketku. Setelah menarik napas panjang, aku maju ke arah rumah tersebut. Ryan tidak bergerak. "Kau tidak ikut?" tanyaku. Ryan mengangkat sepedanya dari tanah. "Sebaiknya aku pergi ke sekolah dan memberitahu Mr. Keanes kenapa kita terlambat," katanya. "Dasar penakut," gumamku. Kuperhatikan ia menjauh. "Cepatlah menyusul!" serunya. "Kau tahu Mr. Keanes tidak suka kalau kita terlambat." Aku punya alasan bagus kenapa terlambat, pikirku sambil mendesah. Aku telah membunuh makhluk hidup. Sementara aku berjalan ke pekarangan, jaketku terbuka. Kepala kucing itu menonjol keluar dan bergoyang-goyang lemas setiap kali aku melangkah. "Kucing malang," bisikku. Setengah jalan ke rumah, aku mendengar suara lengkingan dan meong tertahan. Banyak kucing di dalam rumah. Aku menatap jendela depan... dan melihat beberapa pasang mata balas menatapku. "Banyak sekali kucingnya," gumamku keras-keras. Aku memandang kucing mati dalam pelukanku. "Berapa banyak saudaramu di dalam sana?" Aku menajamkan mata melintasi pekarangan. Kulihat sedikitnya ada dua belas ekor kucing bertengger di jendela depan dengan mata berkilauan. Suara meong mereka semakin keras dan tajam. Aku ragu-ragu. Suara itu terdengar begitu sedih dan tidak bahagia. Kenapa mereka meratap seperti itu? Apakah mereka tahu nasib yang menimpa teman mereka? Tengkukku meremang dan jantungku mendadak berdebar ketakutan. Semua kucing itu menatapku dengan dingin dari jendela depan. Menatap tanpa berkedip. Tanpa bergerak. Memandangiku dengan sangat tajam. Mungkin seharusnya aku tidak datang ke rumah yang seram ini, pikirku. Mungkin sebaiknya kuletakkan saja mayat kucing ini di depan pintu, lalu lari secepat mungkin. Aku menggigil. Pohon tumbang itu berkeriut keras di belakangku. Suara-suara meong menyedihkan itu serasa mengelilingiku dari setiap sudut. Aku melangkah ke depan pintu dan mengintip dari ambang pintu yang terbuka. "Halo!" panggilku, suaraku gemetar dan lemah. Aku berdeham dan mencoba lagi. "Ada orang di rumah?" Di dalam rumah, kucing-kucing berhenti meratap. Aku mendengar langkah kaki di lantai yang berkeriut. "Halo?" panggilku lagi. Pintu depan terbuka seluruhnya. Seorang gadis berdiri memandangiku. Kelihatannya ia sebaya denganku. Sekitar dua belas tahun. Mungkin lebih tua sedikit. Ia sangat pucat, tapi cukup cantik, dengan rambut cokelat panjang yang jatuh ke bahunya. Pakaiannya yang putih begitu longgar. Entah itu gaun tidur atau gaun biasa, aku tidak tahu. Ia memandangiku dengan mata cokelatnya yang bundar. Matanya sedih dan ada lingkaran gelap di bawahnya, seolah-olah ia sudah lama tidak tidur. Di belakangnya, kucing-kucing mulai meratap lagi. "Aku... maaf," aku tergagap. "Aku tidak sengaja... menewaskan kucingmu." Aku menyorongkan kucing di pelukanku. Jaketku terbuka lagi. Kucing mati itu menatap kosong ke arah kami, mulutnya terbuka. Si gadis memperhatikan kucing itu. Matanya terbelalak, lalu ia menempelkan tangan di pipi dan memekik nyaring. "Tidak! Tidak! Jangan!" 3 "AKU menyesal sekali," kataku padanya. "Tidak! Tidaaak!" ia meratap sambil menekan wajahnya dengan dua tangan, memandang ngeri pada sosok lemas dalam pelukanku. "Jangan Rip! Aduh, jangan Rip!" "Dia lari persis ke bawah roda sepedaku," aku berusaha menjelaskan. "Aku jatuh dari sepeda dan sebuah van merah melaju kencang...." Suaraku makin pelan. Kulihat gadis itu sama sekali tidak mendengarkan. "Jangan Rip!" serunya lagi. "Mom tidak akan senang mendengarnya. Sama sekali tidak." Aku menelan. "Kalau kau ingin aku menjelaskan pada ibumu...," aku memulai. "Rip. Kau membunuh Rip," bisik gadis itu sambil menggeleng. Ia menatapku dengan mata cokelatnya yang sedih, lalu kembali memandangi sosok di dalam jaketku. "Hah?" aku terpekik kaget ketika aku merasa kucing itu bergerak. Makhluk itu mengedipkan sepasang matanya yang kuning, lalu mengangkat kepala dan memandang berkeliling, seperti baru bangun dari tidur. "Wah!" Aku terkesiap dan otomatis melepaskan kucing itu. Ia jatuh di kakiku. Ia memandangiku dengan mata kuningnya yang terang. Sorotnya sangat dingin. Lalu ia lari menjauh. Kulihat ia menerobos di bawah semak-semak, lalu menghilang di samping rumah. Aku ternganga dan kakiku gemetar. "Tapi dia..." Aku tak bisa melanjutkan. Dengan gemetar aku menoleh kembali pada gadis itu. Ia masih memandangi arah kucing itu pergi, wajahnya yang pucat tampak ketakutan. "Siapa namamu?" tanyanya. Aku sangat kaget dan terperangah, hingga baru beberapa saat kemudian bisa menjawab. "Alison," kataku akhirnya. "Namaku Crystal," kata si gadis dengan pelan. "Kucing itu...," seruku. "Dia sudah mati. Aku tahu dia sudah mati!" Crystal menghindari mataku. "Dia bukan kucing biasa," katanya dengan gigi dikertakkan. "Mestinya kau tidak berurusan dengan Rip." "Apa maksudmu?" seruku. "Mom yang malang," gumam Crystal. "Apa maksudmu?" ulangku. "Kenapa kaubilang dia bukan kucing biasa?" Crystal tidak menjawab. Sesaat ia memandangiku, lalu mundur ke dalam rumah dan hendak menutup pintu. "Katakan!" desakku. "Tolonglah, katakan." "Pergilah!" serunya nyaring. "Pergilah. Aku tidak ingin kucing itu kembali. Tidak ingin!" Dan ia membanting pintu. 4 AKU lari sepanjang jalan ke sekolah dan menyerbu masuk ke auditorium. Aku mengira teman-temanku sedang latihan, tapi ternyata mereka malah sedang santai di sekitar panggung, mengobrol dan tertawa-tawa berkelompok. Di belakang mereka, tim panggung sedang memindahkan backdrop (latar belakang-ed) besar di dekat panggung. Mr. Keanes tidak kelihatan. "Alison, kenapa lama sekali baru datang?" Ryan berseru padaku dari panggung. Ia sedang duduk di samping Freddy Weiner yang berperan sebagai ayahku, sang raja. "Aku... aku mesti bicara denganmu," seruku dengan terengah. Aku naik ke panggung dan menarik Ryan ke arah layar. "Hei, awas!" Salah seorang anak sedang memindahkan backdrop tinggi. Aku hampir menabraknya. "Alison, kau ini kenapa sih?" tuntut Ryan. Aku menyibakkan rambutku dengan dua tangan. "Kucing itu...," kataku gugup. "Dia hidup lagi." Ryan melongo menatapku, seolah-olah aku bicara dengan bahasa planet. "Dia sudah mati, Ryan," aku melanjutkan dengan penuh semangat. "Kau melihatnya, kan? Aku membawanya ke rumah tua itu. Seorang gadis di sana mengenalinya. Tingkahnya benar-benar aneh. Dia menyebut kucing itu Rip. Lalu dia mulai menjerit dan... dan..." Aku menceritakan semuanya tanpa menarik napas. Ryan masih tetap melongo menatapku. "Lalu kucing itu hidup lagi!" seruku. "Dia membuka mata, menatap marah padaku, lalu lari." Ryan tertawa. "Apa yang lucu?" tuntutku. "Dia menatap marah padamu?" tanya Ryan. "Ya," sahutku. "Aneh sekali, Ryan. Gadis itu sangat aneh. Dan... dan..." "Jadi, ceritanya berakhir dengan bahagia," sela Ryan. "Ternyata kucing itu tidak mati." "Tapi sebelumnya dia sudah mati!" seruku. "Kau melihatnya...." "Kurasa dia cuma pingsan," kata Ryan. Tim dekorasi menurunkan backdrop berat dan semua anak bertepuk tangan sambil bersorak-sorak. "Kucing itu pasti terkejut atau apalah," kata Ryan. "Lalu dia sadar kembali dan ternyata tidak apa-apa." Aku memikirkannya. "Mungkin kau benar," kataku. "Tak ada cara lain untuk menjelaskannya. Tapi... gadis itu benar-benar membuatku takut. Dia bilang Rip bukan kucing biasa. Katanya aku mestinya tidak berurusan dengan Rip." Ryan tersenyum mengejek. "Mungkin dia cuma ingin menakut-nakutimu." "Tapi dia sendiri kelihatannya benar-benar ketakutan," sahutku. Ryan angkat bahu. ."Mana Mr. Keanes?" tanyaku sambil melayangkan pandang di auditorium. "Terlambat datang," sahut Ryan. "Beruntung ya? Kita tidak akan dikuliahi." "Yeah, untunglah," aku mengiyakan. Tapi aku masih memikirkan Crystal dan Rip. Tak lama kemudian Mr. Keanes datang dan langsung menepukkan tangannya yang gemuk. "Ayo, anak-anak! Bisa kita mulai sekarang?" Aku meraih mahkota kartonku dari singgasana dan mengenakannya. Ryan mengambil posisi dengan membawa tongkat. "Maaf aku terlambat," kata Mr. Keanes sambil bergegas ke panggung dengan membawa clipboard. Dengan kacamatanya yang besar bulat, kepalanya yang bundar dan botak, dan tubuhnya yang berbentuk telur, Mr. Keanes tampak seperti seekor burung hantu yang gemuk. Tingkahnya juga agak keburung-burungan. Ia selalu menggerak-gerakkan lengan, menarik-narik sweater-nya, dan memiringkan kepala saat mengawasi kami. Kadang-kadang ia tidak sabar pada kami, tapi ia guru yang sangat baik dan berbakat. Dialah yang menulis semua lagu dalam drama kami, dalam waktu kurang dari seminggu. "Dari mana kita mulai?" Ia melihat clipboard-nya. "Oh ya. Raja sedang memperkenalkan Sir Frances padamu, Putri." Ia menatapku dan mengernyit melihat lebam ungu di sikuku. "Kenapa sikumu, Alison?" "Jatuh dari sepeda," sahutku. Sekali lagi terbayang olehku sosok kelabu si kucing dan onggokan keras di bawah roda sepedaku. Kulihat kepala kucing itu terbang ke seberang jalan. Mr. Keanes berdecak-decak. "Kau sudah mencuci lukanya? Dan sudah memberi obat?" "Nanti, setelah latihan," kataku. "Aku sudah terlambat tadi, jadi..." "Kurasa Putri Aurora tidak akan berjalan-jalan di istana dalam keadaan begitu," Mr. Keanes memarahiku. Ia menarik napas. "Oke, masing-masing ambil posisi." Ia melambai pada Freddy Weiner. "Mulailah, Raja Raymond." Freddy mulai berbicara, tapi suaranya serak. Tim panggung dan para penonton lainnya tertawa sambil bertepuk tangan. Freddy berdeham dan memulai kembali. "Putri Aurora, anakku, kita mendapat tamu dari jauh." "Oh, begitukah, Ayah?" kataku sambil berdiri tegak, selayaknya seorang putri raja. "Akan kuperkenalkan sang pangeran padamu," kata Freddy sambil mengayunkan tangan ke arah Ryan. Ryan bersandar pada tongkatnya dan membungkuk dalam-dalam. Tapi aku tidak mendengar apa yang diucapkannya. Aku mendengar jeritan dari seberang panggung. Dan suara MEONG yang keras. 5 AKU menoleh ke arah suara itu sambil melihat ke lantai. "MEEEONG." Aku melewati Freddy dan berlutut di panggung, mencari-cari kucing itu. "Alison, ada apa ini?" tanya Mr. Keanes. Ia berdiri di lantai auditorium. Kepalanya yang bundar hanya tampak sedikit di bawah llantai panggung. "Kucing itu...," gumamku. Binatang itu bersuara lagi. Lebih pelan. Seperti suara meong biasa. "Di mana dia?" seruku. "Ada yang melihat, tidak?" Beberapa anak dari tim panggung memandangiku dari belakang panggung. "Kalian mendengar suaranya, tidak?" seruku pada mereka. Mereka menggeleng. "Alison, aku tidak melihat seekor kucing pun," kata Mr. Keanes tak sabar. "Bisakah kita meneruskan latihan?" "Tapi aku mendengar suaranya!" aku bersikeras. "Jelas sekali." Kulihat Freddy memutar-mutar matanya. Ryan bergegas menghampiriku. "Kau yakin kau tidak apa-apa?" "Ya, yakin," sahutku. "Aku mendengar suara kucing. Itu saja." Ryan memandangiku. Lama. "Tadi kau terjatuh cukup keras. Mungkin..." "Tapi kepalaku tidak terbentur!" teriakku. "Aku tidak sinting, Ryan. Aku memang mendengar suara kucing." Rupanya teriakanku terlalu keras. Aku berbalik dan melihat semua orang di auditorium memandangiku. "Kembali ke posisi masing-masing, anak-anak," Mr. Keanes menginstruksikan. Aku mengikuti Ryan kembali ke tengah panggung. Dan suara kucing itu terdengar lagi. Dekat sekali. "Kaudengar itu, tidak?" seruku. Ryan dan Freddy memandangiku dengan tatapan kosong. "Alison, tolong teruskan," kata Mr. Kearxes dari lantai auditorium. "Sekarang berjalanlah ke lemari di kamar," ia memerintahkan. "Ambil tongkat kerajaan dan berikan pada Raja Raymond." "Oke," kataku. Aku mulai berjalan ke arah lemari kayu di seberang panggung. "Raja Raymond, bagaimana dialogmu?" tanya Mr. Keanes. Freddy ternganga. Rupanya ia mengalami kesulitan. Kami memang belum pernah melatih adegan ini. "Uh... Putri Aurora, keluarkanlah tongkat kerajaan." Akhirnya ia ingat juga. Aku melangkah ke lemari dan membuka pintunya. Sepasang mata kuning melotot menatapku. Lalu terdengar lengkingan nyaring dan marah. Dan aku melihat sepasang cakar yang diangkat tinggi. Sebelum aku bisa bergerak, si kucing sudah melompat dari rak paling atas. Dan mendarat di wajahku. Aku menjerit ketika ia membenamkan cakarnya di bahuku. Dengan desisan marah kucing itu mengangkat kepala. Matanya yang kuning berkilau seperti matahari. "Tidak! Tolong!" Aku menjerit nyaring dan terjatuh ke belakang, sementara kucing itu memamerkan taringnya yang melengkung dan mulai bergerak ke tenggorokanku. 6 OHHH! Tolong!" Kucengkeram kucing itu dengan dua tangan. Ia menjerit marah ketika aku menariknya dari wajahku dan melemparkannya jauh-jauh sekuat tenaga. Dengan jantung berdebar kencang kulihat binatang itu melayang ke seberang panggung. Sepasang matanya terbelalak. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan lengkingan memekakkan telinga. Semuanya terjadi begitu cepat. Dua anak laki-laki sedang mengangkat singgasana yang berat dari atas panggung. Salah satunya berteriak ketika melihat kucing itu melayang ke arahnya. Si kucing menghantam bahu anak itu, lalu terlontar ke lantai. Kedua anak yang kaget itu menjatuhkan singsana. Terdengar suara BLUK mengerikan ketika singgasana itu jatuh menimpa si kucing. Hening. Selama beberapa saat tak ada yang bergerak. Lalu, sementara aku berdiri terpaku di tempatku dengan tangan menutupi mata, anak-anak yang lain sudah bergerak dan serempak berbicara. "Apa dia gepeng?" "Dia mati, ya?" "Apa sih itu?" "Kucing siapa itu?" "Bagaimana dia bisa masuk ke lemari? Kudengar Mr. Keanes menyuruh anak-anak laki-laki mengangkat singgasana itu. Lalu terdengar erangan-erangan muak. "Iiiihhh!" "Dia gepeng." Seorang anak laki-laki tertawa. "Pembunuhan." Dua anak perempuan menyuruhnya diam. "Aku mau muntah nih," erang seorang anak lain. Ia lari dari panggung. Aku tercekat dan mengikuti Ryan ke arah si kucing. Kakiku gemetar. Bibir bawahku rasanya berdarah. Aku tidak sadar bahwa tadi aku menggigiti bibirku. Freddy sedang membungkuk di atas si kucing —sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Oh, wow," gumam Ryan sambil berlutut di samping Freddy. Aku berjongkok di sampingnya. Sambil menahan napas, aku memandang si kucing. "Oh, tidak!" seruku. "Ryan..." "Dia sudah mati," gumam Ryan. "Ryan, ini kucing yang sama!" seruku. "Dia mati karena aku. Dan sekarang aku membunuhnya lagi." "Alison, kau tidak apa-apa? Apa dia menggigitmu?" Mr. Keanes mendatangiku dari seberang panggung, wajahnya merah padam. "Tidak, aku tidak apa-apa," sahutku dengan gemetar. Aku menoleh ke Ryan. "Coba kaulihat! Bulunya kelabu. Dan di belakang telinganya ada segitiga putih. Dia kucing yang sama." "Kucing yang sama dengan apa?" tanya Freddy. Ryan mengamati kucing itu. "Tidak, Alison," katanya. "Tak mungkin." Ia mengangkat kucing itu dengan dua tangan. Hewan itu tergantung lemas seperti boneka kain. Freddy mengerang dengan muak. "Iiih!" "Tapi dia kucing yang sama," aku bersikeras. "Aku yakin sekali. Aku menabrak kucing ini. Dan sekarang dia... dia kembali." "Ada yang bisa menceritakan, apa sebenarnya yang terjadi?" tuntut Mr. Keanes. Ketika aku berpaling hendak menjawab, mendadak kucing itu menendangkan keempat kakinya. Freddy, Ryan, dan aku menjerit serempak. Ryan menjatuhkan kucing itu. Si kucing mendarat di kakinya dengan suara BUK. Ia Iari, menginjak sepatuku... terus hingga ke tepi panggung. "Hentikan dia!" teriak Freddy. "Tangkap dia!" Sebelum ada yang sempat bergerak, kucing itu sudah melompat dari panggung dan menghilang di ba wah kursi-kursi auditorium. Kulihat beberapa anak lari mengejarnya, tapi dengan segera mereka menyerah. Kucing itu sudah lenyap. "Itu kucing yang sama!" kataku pada Ryan. "Peristiwanya terulang lagi. Dia mati... lalu... lalu hidup lagi." "Tenang, Alison," sahut Ryan sambil menatapku dengan tajam. Rupanya ia tidak percaya padaku. Tapi aku tahu aku benar. Tanpa sengaja aku telah membunuh kucing itu dua kali. Dan dua kali pula ia hidup lagi, lalu lari. "Dia menyerangku!" kataku dengan gemetar. "Dia melompat dari lemari dan menyerangku." Ryan menggeleng. "Kucing itu ketakutan. Itu saja. Dia terkunci di lemari. Ketika kau membuka pintunya, dia melompat keluar. Dia tidak tahu kau berdiri di situ." "Tapi... tapi bagaimana dia bisa berada di dalam lemari itu?" tanyaku terbata-bata. Ryan mengernyitkan wajah, berpikir keras. Tapi, sebelum ia bisa menjawab, Mr. Keanes sudah menyela. "Anak-anak!" serunya sambil memberi isyarat agar kami berkumpul di dekatnya. "Kulihat kalian semua sangat bingung mengenai kucing tadi. Aneh sekali. Aku akan menutup latihan hari ini. Sampai besok. Berkumpul sesuai jadwal yang sudah ditentukan." Mr. Keanes menghampiriku. "Kau yakin kau tidak apa-apa, Alison? Aku bisa mengantarmu pulang." "Tidak, terima kasih. Aku tidak apa-apa," kataku padanya. "Aku cuma... hari ini aneh sekali." Ryan, Freddy, dan aku mulai melangkah menjauhi panggung. "MEEE-ONGG!" Aku tercekat ketika mendengar suara nyaring itu. "Di mana dia?" seruku. "Di mana dia sekarang?" 7 MEEE-OONG!" Suara itu terdengar lagi. Lalu kulihat Freddy nyengir lebar, dan tahulah aku bahwa dialah yang mengeong. "MEEOONG." Ia mencakar-cakar ke arahku dengan satu tangannya. "Freddy," kataku, "pernah tidak, ada yang memberitahumu bahwa tingkahmu sama sekali tidak lucu?" "Semua orang bilang begitu," katanya, masih sambil nyengir. Saat makan malam, kuceritakan pada Mom, Dad, dan Tanner bahwa tadi siang aku menabrak kucing. "Dia lari persis ke bawah roda sepedaku," aku menjelaskan. "Mulanya aku mengira kepalanya lepas. Tapi ternyata tidak. Rupanya itu cuma bayanganku. Aku merasakan benturan di bawah roda dan..." "Iiih." Tanner mengernyit. "Lalu dia benar-benar jadi gepeng?" "Ini bukan topik yang sesuai untuk makan malam," sela Dad. "Bisakah kita membicarakan hal lain?" "Apa dia mati?" desak Tanner sambil membungkuk di atas mangkuk supnya. Mom meletakkan semangkuk sup di hadapanku. "Ayahmu benar, Alison. Jangan membuat adikmu takut. Bicara yang lain saja." "Supnya enak, Margo," kata Dad pada Mom. Aku memasukkan sendokku ke mangkuk sup,tapi tidak langsung mencicipinya. "Sepedaku terjungkal," kataku pada Dad. Mom bersin. Dad menyipitkan mata ke arahku. "Sepeda barumu?" Aku mengangguk dan perutku langsung mulas ketakutan. Aku tahu Dad pasti marah. "Kenapa kau membuat rusak sepeda itu?" teriak Dad. "Sepeda itu kan masih baru sekali." "Sudahlah." Mom mengangkat satu tangannya. "Kita bicarakan sesudah makan malam saja. Aku membuat sup mi ayam ini secara khusus. Bisakah kita santai dan menikmatinya?" Ia bersin lagi, lalu mengelap hidungnya dengan serbet. "Aneh," gumamnya. "Aku merasa aneh." Dad menikmati sesendok sup dan memandangi Mom dari seberang meja. "Wajahmu agak bengkak, Margo." "Aku merasa ada kucing di dekat-dekat sini," kata Mom. "Aku kan alergi...." Ia bersin lagi. "Mungkin itu karena Alison sedang bicara tentang kucing," kata Tanner. Sambil menggosok hidungnya, Mom tertawa. "Aku tidak alergi bicara tentang kucing." Matanya berair. Dad menoleh ke arahku sambil mengernyit. "Alison, kucing yang kau tabrak itu... apa kau membawanya pulang kemari?" "Tidak!" seruku. "Aku tidak membawa kucing seekor pun." Mom mendengus-dengus dan mengelapkan serbet ke matanya yang berair. "Mungkin ada bulu kucing menempel di pakaianmu," katanya padaku. Aku mendorong kursiku dan bangkit berdiri. "Apa aku perlu ganti baju?" "Tidak, Alison. Duduklah," perintah Mom. Ia melayangkan pandang ke sekitar meja. "Aku membuat sup mi ayam yang enak, tapi tidak ada yang menikmatinya." "Aku makan kok," kata Dad. Ia menyeruput seutas mi. "Enak sekali." "Supku terlalu panas," rengek Tanner. "Tidak," Mom memarahinya. "Makan supmu. Kalian berdua." Sambil mengamati Tanner meniup-niup supnya, aku mengangkat sendokku dan menelan sesuap besar. Rasanya agak aneh. Aku mengunyah. Dan terus mengunyah. Ada yang tidak beres. Aku tidak bisa menelannya. Sesuatu yang tajam menusuk lidahku. "Aaaah!" Aku mengerang jijik, lalu menjulurkan lidahku dan menarik segumpal benda dari dalam mulutku dengan dua jari. "Apa ini?" seruku. Gumpalan kelabu. Seperti kumis binatang. Bukan, seperti bulu binatang. Bulu kucing berwarna kelabu. "Tidaaaak!" Aku mengerang jijik dan menatap supku... ke dalam mangkuk... ke dalam mangkuk yang mengepul-ngepul dan gelap... dan penuh dengan bulu kucing. 8 “AAAACK! Aku tidak bisa mengeluarkannya dari mulutku!" jeritku. Aku tercekik dan tersedak. Dad melompat dan mulai memukul-mukul punggungku. Aku memuntahkan segumpal bulu kucing yang basah. Lalu dengan panik aku mengelap mulutku dengan serbet, berusaha membuang bulu yang menempel di lidahku. "Aku tidak mengerti," gumam Mom. Ia mendekatkan mangkuk supku ke wajahnya dan menggeleng-geleng. Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana mungkin bulu itu bisa masuk ke dalam sini?" Aku tersedak lagi. Aku melompat bangkit dan lari ke cermin di lorong depan. Aku membuka mulut dan bercermin. "Oohh," erangku. "Di sela gigiku ada bulu kucing juga." Kudengar Tanner berteriak di dalam sana. "Bawa pergi! Bawa pergi supnya!" ratapnya. "Tapi supnya enak," kudengar Mom berkata. Sambil menutupi mulutku dengan tangan, aku lari ke kamar mandi dan menggosok gigi selama sekitar setengah jam. Wastafel dipenuhi bulu kucing berwarna kelabu. Mulutku masih tetap terasa aneh, begitu juga lidahku. "Apa yang terjadi?" seruku pada bayangan wajahku di cermin. "Apa yang terjadi sebenarnya di sini?" Masih gemetar aku berjalan ke kamarku. Aku berhenti di depan pintu. Di depan pintu yang tertutup. Aneh, pikirku. Aku yakin tadi pintu ini kubiarkan t erbuka. Kenapa sekarang tertutup? Siapa yang menutupnya? Alison, kau mulai membayangkan yang tidak-tidak, aku memarahi diriku sendiri. Siapa yang peduli kamarmu tertutup atau tidak? Apa pentingnya? Aku memegang tombol pintu, memutarnya, lalu membuka pintunya... dan berteriak, "Tidaaaak! Oh, tidaaak” 9 MASIH memegangi tombol pintu, aku menatap keadaan kamarku dengan rasa tak percaya. Kamarku berantakan. "Tikus-tikusku...," aku berteriak keras-keras. Kotak-kotak kaca tempat aku menyimpan koleksi tikusku sudah kosong. Seluruh tikus mainanku berserakan di mana-mana. Di lantai, di tempat tidur, di atas komputer... di mana-mana. Keranjang sampah juga penuh dengan tikus. Ada juga yang diselipkan di antara lipatan tiraiku. Sebuah boneka tikus berwarna putih menyembul dari lampu di langit-langit. "Siapa yang melakukan ini?" teriakku. "Siapa?" Aku berdiri di ambang pintu sambil memegangi pipiku dengan dua tangan, dan melayangkan pandang. Aku punya sekitar dua ratus koleksi tikus. Seseorang telah melemparkannya ke mana-mana. Sambil mengerjap-ngerjap aku membayangkan kucing kelabu itu lagi. Rip. Rip.... Ucapan Crystal terngiang di telingaku. "Dia bukan kucing biasa. Mestinya kau tidak berurusan dengan Rip." Aku telah membunuhnya. Dua kali. Dan sekarang dia ingin membalasku. Dia ada di kamarku. Kamarku sendiri. Aku mendesah. Kucing itu tak mungkin melakukan ini, pikirku. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumah? Bagaimana dia tahu aku tinggal di sini? Alison, jangan mulai berpikir yang tidak-tidak. Tidak ada kucing yang mengacaukan koleksi tikus di kamarmu. Kau terlalu banyak nonton Tom & Jerry di TV bersama Tanner. Tanner. Aku membalikkan tubuh dan melihat adikku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terbelalak. Dagunya gemetar, seperti kalau ia sedang tegang atau ketakutan. Ia tampak begitu kecil dan lucu dalam kaus Godzilla dan celana gombrongnya. "Alison, apa yang terjadi?" serunya. Aku berusaha bergurau. "Ada gempa bumi," kataku. "Kau percaya? Ada gempa bumi skala besar, dan yang kena hanya kamarku." Tanner tidak tersenyum. Ia masuk ke kamarku, dengan hati-hati melangkahi dua buah tikus putar dari plastik. "Apa kotak penyimpannya jatuh?" tanyanya. Aku memberi isyarat dengan kepalaku. "Masih ada di sana kok," gumamku. "Apa kau yang mengeluarkan semua tikusmu?" tanyanya. "Eh... ya," aku berbohong. Aku tidak mau membuat Tanner lebih ketakutan lagi. Kupaksakan agar suaraku tetap tenang dan mantap. "Aku yang mengeluarkan mereka pagi ini," kataku. Tanner menyipitkan matanya yang gelap. "Kenapa?" "Eh... aku ingin mengatur mereka lagi," kataku, berpikir cepat. "Tikus kain dipisahkan dengan tikus putar. Kau mengerti, kan?" Ia mengangguk. Tapi kulihat ia berpikir keras. Aku menggigil. "Mungkin sesudah makan kau bisa membantuku membereskan tikus-tikusku." "Oke," ia setuju, masih sambil menatap tajam padaku. "Kecuali kalau aku sibuk nonton TV atau apalah." Aku menunggu sampai ia turun kembali, lalu aku mulai membereskan koleksi tikusku. Aku tidak sabar untuk menaruh kembali semua tikus itu di dalam kotak kaca. Kukumpulkan semuanya secepat mungkin, lalu kulemparkan ke dalam sebuah kantong pakaian kotor yang besar, dan kumasukkan kantong itu ke lemariku. Kemudian aku turun kembali ke ruang bawah. *** Keesokan harinya, di sekolah, aku bergegas mendekati Ryan di ruang makan siang. Kuletakkan kantong makan siangku di samping kantongnya, lalu aku duduk di hadapannya. "Tampangmu mengerikan," katanya. "Trims berat," gumamku sambil memutar-mutar mata. Aku menyibakkan rambutku yang menutupi dahi. "Tidak, maksudku, kau kelihatannya capek," ia menjelaskan. "Di bawah matamu ada lingkaran hitam." "Aku tidak bisa tidur nyenyak," aku mengakui. "Setiap kali memejamkan mata, aku melihat kucing itu." Ryan menyipitkan mata. "Kucing kelabu itu? Kau melihatnya lagi?" "Tidak," kataku. "Tapi kurasa dia ada di rumahku." "Kau bercanda, ya?" Ia meraih kantong makan siangnya. Aku mencengkeram tangannya untuk menghentikannya. "Jangan makan dulu," kataku. "Pertama-tama, aku ingin menceritakan apa yang terjadi saat makan malam kemarin." Kuceritakan tentang gumpalan bulu kucing basah yang kutelan. Juga tentang bulu kucing yang ada di dalam sup ayamku. Ryan memasukkan satu jari ke mulutnya dan membuat suara seperti akan muntah. "Aku tidak bisa makan lagi," katanya. "Tidak lucu, Ryan," kataku. "Aku bisa tersedak sampai mati gara-gara gumpalan bulu itu." “Tapi itu aneh sekali. Bagaimana bulu itu bisa masuk ke dalam sup?" ia menuntut. Aku angkat bahu. "Kurasa itu perbuatan Rip. Entah bagaimana caranya. Aku tidak bisa menjelaskannya." "Hiiih!" Ryan tampak benar-benar muak. Kuceritakan tentang koleksi tikusku yang berantakan di kamar. "Kurasa kucing itu ada di sana," kataku. "Memang kedengarannya konyol, tapi kau melihat sendiri kucing itu. Dia sudah mati, kan? Terlindas. Dan dia hidup lagi. Mungkin dia punya kekuatan, Ryan. Mungkin..." Ryan mengernyitkan wajahnya, seperti kebiasaannya kalau sedang berpikir keras. Ia menyipitkan mata padaku. "Koleksi tikusmu berserakan di mana-mana? Kau yakin itu bukan ulah adikmu?" "Ha?" Aku ternganga. "Tanner?" Ryan mengangguk. "Pasti bukan," aku bersikeras. "Tanner belum pernah iseng pada siapa pun. Itu bukan sifatnya. Kau kan tahu dia penakut." "Kau mesti berhenti memikirkan kucing itu," Ryan mengingatkan. "Aku tahu kau merasa bersalah...." "Aku membunuhnya dua kali," seruku. Beberapa orang anak menoleh ke arahku. Aku memelankan suara dan mencondongkan tubuh di meja. "Aku membunuhnya dua kali dan dia hidup lagi. Sekarang dia berniat balas dendam padaku." Ryan memandangiku lama sekali. "Kau tahu tidak, omonganmu benar-benar sinting," katanya akhirnya. Aku mengangguk. "Kau bisa memberi penjelasan?" tuntutku. Aku tahu ia tidak punya penjelasan apa pun. "Ayo makan," gumamnya sambil melihat jam dinding di atas pintu ruang makan. "Sudah siang. Tidak usah membicarakan kucing lagi." Aku mengambil kantong bekalku. "Oke, oke," kataku. Aku membuka kantong itu, melongok isinya... dan terkesiap. 10 ALISON... ada apa?" seru Ryan. Aku melotot ke dalam kantong itu. "Ini bukan kantongku," sahutku. "Hah?" Ia memandangiku dari seberang meja. "Ini kantong bekalmu," kataku. "Aku salah mengambil kantong." Ia mendesah panjang. "Kau ini kenapa sih? Kau membuatku takut setengah mati." Ia mengambil kantongnya dan memberikan kantongku. "Sori," gumamku. "Aku tidak bermaksud begitu. Aku cuma agak kaget." "Cobalah jangan terlalu penakut," gerutu Ryan. Ia mengeluarkan sepotong sandwich yang dibungkus aluminum foil. "Kau bawa apa untuk bekalmu? Mau tukar, tidak? Punyaku salad telur. Aku tidak suka, mengingatkanku pada muntahan anjing." "Trims sudah bilang-bilang padaku," sahutku sambil melotot. "Ayo, kau bawa apa?" ia mendesak. Aku membuka kantongku dan melongok isinya. Sepasang mata kuning berkilat balik menatapku dari dalam. Sepasang mata yang dikelilingi oleh bulu berwarna kelabu. Aku terbelalak melihat helai-helai kumis yang menyentuh bagian sisi kantong. Mulut binatang itu terbuka, menampakkan giginya yang tajam. Sebuah lidah ungu menjulur kaku ke luar. Sambil menjerit ngeri aku melompat bangkit. Kursiku ja3tuh berdebam ke lantai. "Tidaaak!" jeritku. Anak-anak lain menoleh dengan terkejut ke arahku. Tapi aku tak bisa berhenti berteriak. "Kucing itu! Kepala kucing itu! Kepalanya... ada di dalam kantong! Oh, tolong! Tolong! Kepalanya ada di dalam kantong!" 11 BAGUS, anak-anak. Bagus sekali," seru Mr. Keanes. Suaranya bergema di auditorium yang hampir kosong. "Kalian benar-benar meyakinkan." Ryan, Freddy, dan aku membungkuk memberi hormat. Saat itu malam gladi bersih kami yang pertama, dan hasilnya sangat memuaskan. Akhirnya kami bisa mengingat semua dialog dengan baik dan bisa berakting dengan lebih percaya diri di panggung. Latihan itu membantuku melupakan peristiwa saat makan siang, setidaknya untuk sementara. Aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi. Kalau saja aku bisa menghapuskan kenangan akan peristiwa itu selamanya. Semuanya sangat memalukan. Benar-benar memalukan. Ryan mengambil kantong bekalku dan membukanya. Tidak ada kepala kucing di dalamnya. Yang ada hanya sepotong sandwich dan sebutir apel hijau. Ia mengeluarkan apel itu. "Alison, inikah yang kaulihat?" tanyanya. "Inikah?" Aku mencengkeram meja dengan dua tangan, seluruh tubuhku gemetar. Semua orang di ruang makan menatapku. "Aku... tidak... mengada-ada," akhirnya aku berhasil membuka suara dengan gigi gemeletuk. Lalu aku membalikkan tubuh dan lari keluar. Aku lari secepat mungkin ke lokerku, menyambar jaket dan buku-bukuku, lalu berlari pulang. Aku tidak berhenti berlari sampai aku berada di dalam rumah. Aku naik ke kamarku, membanting pintu, dan mengempaskan tubuh ke tempat tidur. "Aku tidak mau keluar lagi!" seruku keras-keras. "Tidak mau! Tidak mau!" Ryan meneleponku sepulang sekolah, untuk memastikan aku tidak apa-apa. Dan untuk mengingatkan tentang latihan malam ini. Aku cemas memikirkan mesti kembali ke sekolah. Anak-anak pasti menertawakanku dan akan mengeluarkan suara meong-meong kalau melihatku. Tapi kenyataannya semua orang pura-pura tidak ingat apa yang terjadi di ruang makan siang tadi. Termasuk Freddy. Latihan kami berlangsung dengan sangat baik. Dan aku menjadi jauh lebih gembira. Mr. Keanes bertengger di kursi piano di tepi pannggung dan memandang kami dengan wajah berseri-seri. Sorotan lampu panggung menerangi kepalanya yang botak. "Babak kedua, anak-anak," ia mengumumkan sambil menepukkan tangannya yang gemuk. "Ambil posisi. Ayo, anak-anak. Tampillah sebagus pada babak pertama tadi." Saat berjalan ke ruang singgasana, rasa senangku mulai memudar. Perutku mulas dan tenggorokanku serasa kering. Inilah babak yang kutakuti. Aku melirik lemari di sisi panggung dan teringat kucing yang melompat keluar dari dalamnya ketika pintu lemari dibuka. Aku memandangi pintu lemari itu lekat-lekat, seakan mencoba melihat menembus kayunya. Apakah Rip ada di dalam sana, menunggu untuk menerkamku? Apakah dia akan menyerangku lagi? "Alison... kau baik-baik saja?" tanya Ryan. Kupaksakan diriku berpaling dari lemari itu. "Eh... ya," sahutku tidak yakin. Masalahnya, aku tak bisa menghapuskan bayangan tentang kucing yang mengerikan itu. Aku memejamkan mata, berusaha menjernihkan pikiran. "Oke, ayo mulai," seru Mr. Keanes. "Putri Aurora, keluarkan tongkat kerajaan," Freddy, sang raja, memerintahkan. Aku memandanginya dengan tatapan kosong, jantungku berdebar-debar. "Tongkat kerajaan," ulangnya sambil menunjuk ke lemari. Kulihat semua orang menatapku. Menunggu. "Oh, baiklah," kataku. Aku berjalan ke lemari dan mengangkat tangan ke kedua tombol pintu dari kayu. Aku ragu-ragu, berusaha mendengarkan apakah ada suara kucing dari dalam lemari. Tidak ada. Aku menelan. Mulutku terasa kering sekali. Aku tak ingin membuka pintu lemari itu. Sungguh, aku tak ingin. Tapi aku tak punya pilihan. Setelah menarik napas panjang, kusentakkan kedua pintu lemari itu sekaligus. "Oh!" Suatu seruan tajam keluar dari mulutku. Tidak ada apa-apa di dalam. Tidak ada kucing. Tidak ada makhluk hidup apa pun. Aku mengambil tongkat kerajaan di dalamnya, membalikkan tubuh, dan melintasi panggung untuk menyerahkan tongkat itu pada sang raja. Aku tersenyum lebar, padahal itu tidak ada dalam skenario. Apa boleh buat. Aku merasa sangat lega. Mungkin kucing itu sudah selesai denganku, pikirku. Mungkin dia sudah tidak mengejar-ngejarku lagi. Ternyata aku keliru. *** Menjelang pukul sebelas malam, aku baru bisa pulang, tapi aku tidak mengantuk. Aku masih terlalu bersemangat karena latihan tadi berlangsung sangat memuaskan. Tadi Mr. Keanes memberikan lembaran-lembaran syair lagu dalam drama kami. Aku membawa semuanya ke kamarku dan membacanya sebentar, mencoba menghafalkan kata-katanya. Aku ingin menelepon Ryan untuk melatih lagu-lagu itu bersamanya. Tapi sekarang sudah terlalu malam. Jadi, aku berlatih sendirian. Tak lama kemudian, aku mulai mengantuk. Kelopak mataku mulai berat. Sudah waktunya tidur. Kuletakkan lembar-lembar syair itu di mejaku, lalu aku beranjak ke lemari untuk mengambil baju tidur. "Oh!" seruku ketika melihat sesosok makhluk di lantai. Seekor tikus. Bukan. Ia tidak bergerak. Sambil membungkuk, kulihat bahwa benda itu ternyata sebuah tikus putar dari plastik. Aku pasti tidak melihatnya ketika sedang bersih-bersih. "Seperti tikus sungguhan," gumamku. Sambil menguap kumasukkan tikus itu ke saku jeans-ku. Lalu aku ganti pakaian, mematikan lampu, dan mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Tahu-tahu aku sudah terlelap. Tapi tidak lama. Aku bangun dengan tersedak. Aku tak bisa bernapas. Aku menatap ke dalam kegelapan total. Sesuatu yang berat dan hangat menutupi wajahku. Kuku-kuku tajam membenam di bahu baju tidurku. Aku mengulurkan tangan dan mencengkeram asal-asalan. Aku merasakan bulu dan kulit yang hangat di bawahnya. Seekor kucing! Seekor kucing menempel di wajahku. Menempel erat sekali. Mencengkeramku.... Menutupiku. Membuatku tersedak. Tak bisa bernapas 12 KEGELAPAN menyelubungi wajahku, lalu perlahan-lahan berubah menjadi warna merah cerah. Dadaku sakit. Paru-paruku serasa akan meledak. Sebagai usaha terakhir, aku mengayunkan lenganku dengan keras, mencengkeram tubuh si kucing, lalu menariknya sedikit. Dengan terengah-engah aku menghirup udara. Kucing itu menendang dan meronta-ronta, tapi aku tetap memegangi tubuhnya dan mengangkatnya lebih tinggi. Pelipisku berdenyut-denyut. Aku menghirup udara lagi dan mengembuskannya, lalu menarik napas lagi. Lega sekali rasanya. Sekarang aku merasa lebih kuat. Sambil mengerang aku duduk, masih sambil memegangi kucing itu dengan dua tangan. Makhluk itu menendang-nendangkan keempat kakinya dengan marah. Cakarnya menyambar-nyambar ganas ke wajahku. Lalu ia kembali menerkamku. "Tidak!" jeritku. Kuangkat kucing itu tinggi-tinggi, dan sambil mengerang putus asa kulemparkan dia ke seberang ruangan. Lemparanku ternyata lebih keras daripada yang kukira. Aku terperangah kaget melihat kucing itu melayang keluar dari jendela yang terbuka. Kudengar ia mengeong keras, disusul suara BLUK ketika tubuhnya menimpa tanah. Lalu hening. "Oh, tidak," gumamku dengan bisikan tertahan. Kupaksakan diri bangkit dari tempat tidur. Dengan kaki gemetar aku beranjak ke jendela dan melongok ke bawah. Dalam cahaya bulan purnama kulihat kucing itu tergeletak telentang, kepalanya miring ke satu sisi, keempat cakarnya teracung ke udara. Bahkan dari jendela kamarku yang tinggi di atas, aku bisa mengenali kucing itu. Rip. Tanpa perlu turun ke sana pun aku tahu bahwa aku telah membunuhnya lagi. Untuk ketiga kalinya. Tapi apakah dia akan tetap mati kali ini? Pertanyaan yang menakutkan itu bergaung di telingaku. Aku berjalan pelan-pelan ke lemari dan mengenakan jas hujan panjang untuk menutupi baju tidurku. Lalu aku keluar ke pekarangan belakang, untuk memastikan. Rumput terasa beku dan basah di telapak kakiku yang telanjang. Cahaya bulan menyiram pekarangan dengan sinarnya yang keperakan. Jantungku berdebar kencang ketika aku membungkuk untuk memeriksa kucing itu. Ya. Dia kucing yang sama. Rip. Sekali lagi Rip. Tidak bernapas. Tidak bergerak. Matanya yang kuning melotot kosong. Kaki-kakinya teracung kaku dan lurus ke arah bulan. Rip. Mati untuk ketiga kalinya. Rip. Kucing yang menolak untuk mati. Aku ingin berteriak memanggil orangtuaku. Ingin berteriak sekeras-kerasnya. "Kemarilah, lihat kucing mati ini sebelum dia lari lagi!" Tapi mereka tak akan percaya. Kucing ini akan menghilang sebelum mereka sempat-melihatnya. Menghilang seperti kepalanya menghilang dari dalam kantong makan siangku. Aku membungkuk di atasnya dan berteriak padanya, "Kenapa kau melakukan ini padaku? Kenapa kau terus menghantuiku?" Kulihat mata kucing itu berkedip. Kepalanya sekarang tegak dan cakar-cakarnya bergerak. Tapi aku tak bisa bergerak. Tak bisa melarikan diri pada waktunya. Dan Rip mengayunkan satu cakarnya padaku. Membenamkan kukunya yang panjang ke kulitku, menimbulkan goresan panjang dan dalam di kakiku. 13 AKU menjerit ketika rasa perih yang amat sangat merambati kakiku. Aku mencengkeram kakiku dengan mengernyit, mencoba menahan rasa sakit itu. Si kucing melompat bangkit dan melengkungkan punggung sambil mendesis menakutkan. Siap-siap menyerang lagi. "Tidak!" aku berseru keras. Sambil memegangi kakiku, aku membalikkan tubuh dan dengan panik melompat-lompat di rumput yang basah, ke arah rumah. Rasa sakit itu tidak memudar, malah semakin menyengat. Kepalaku berdenyut-denyut dan aku merasa sangat pening, sampai-sampai aku harus mencengkeram pintu dapur agar tidak jatuh. Di dalam rumah, aku berbalik dan memandang ke arah pekarangan lagi. Kucing itu belum bergerak. Ia berdiri memandangiku dengan sepasang mata kuningnya yang mengerikan. Sambil mendesis ia mengayunkan satu cakarnya di udara berkali-kali, seolah mengisyaratkan apa yang ingin dilakukannya padaku. Dengan gemetar aku membanting pintu belakang. Lalu, sambil memegangi kakiku, aku menyeret tubuhku naik ke kamar mandi. Seluruh tubuhku rasanya gemetar dan berdenyut-denyut. Aku menyalakan lampu dan tertatih-tatih ke wastafel. Kuambil segenggam tisu, lalu kutekankan ke lukaku untuk menghentikan darahnya. Aku membungkuk, mendekatkan tisu ke lukaku... dan terkesiap. Tidak ada darah. Bekas cakaran kucing tadi berwarna putih terang, begitu terang, hingga seperti bersinar. Cakarannya menembus kulitku... tapi tidak ada darah. Tidak ada darah sedikit pun. Aku melongo memandangi kakiku. Kugosokkan tanganku ke luka tadi pelan-pelan, untuk mengusir sisa-sisa rasa sakit. Luka cakaran mestinya berdarah, bukan? Dan bekas lukanya selalu merah, tidak pernah putih terang. Dan biasanya selalu berdarah, bukan? *** Keesokan paginya aku terbangun pukul setengah delapan oleh bunyi alarmku. Aku duduk dan meregang, lalu menjulurkan kakiku yang luka untuk memeriksanya. Sambil mengerjap-ngerjap mengusir kantuk, aku memandangi lukaku dengan saksama dan menggosok-gosoknya dengan tanganku. Lalu kupandangi lagi luka itu. Aneh sekali, bekas-bekas cakaran berwarna putih itu sudah lenyap sama sekali. Aku bangkit berdiri, masih gemetar dan lelah. Sebenarnya aku seperti burung pagi. Aku biasanya bangun dengan perasaan gembira dan siap beraksi. Tapi pagi ini aku merasa sangat lelah, seperti tidak tidur sedikit pun. Saat aku menyeret diri ke seberang ruangan untuk berpakaian, tubuhku rasanya berat sekali. "Mom?" panggilku sambil melangkah ke dapur beberapa saat kemudian. Mom sedang berdiri di tengah ruangan, berusaha mengancingkan blusnya yang memiliki kancing di belakang. "Mom, ada yang mesti kuceritakan," kataku. "Tentang semalam." Aku melangkah ke belakangnya dan membantu mengancingkan blusnya. "Yang merancang blus ini pasti laki-laki," kata Mom sambil mengernyit. "Hanya laki-laki yang akan membuat blus yang tidak bisa dikancingkan sendiri oleh pemakainya. Menurutmu laki-laki mau tidak membeli kemeja yang kancingnya di belakang? Pasti tidak." "Mom...," aku memulai. Mom membanting sekotak cornflake di meja sarapan, bergegas ke lemari es untuk mengambil sekotak usu. "Buatlah sarapanmu sendiri, Alison. Ambil jus dari kulkas. Aku sedang terburu-buru. Aku sudah terlambat." "Tapi ada yang mesti kuceritakan," protesku. Mom tidak mendengarkan. Ia bergegas ke lorong untuk mengambil sesuatu. Kalau sedang terburu-buru, Mom tidak mendengar apa-apa. Dan Mom selalu terburu-buru. Aku pergi ke lemari dan mencari-cari di rak paling bawah. "Mana Tanner?" seruku. "Sudah berangkat pagi-pagi, dengan ayahmu," Mom balas berseru. "Mana dompetku? Kenapa sih aku tidak pernah bisa menemukan dompetku?" Aku mengeluarkan beberapa barang dari lemari. Radio di dapur ada di seberang ruangan, menyiarkan berita tentang badai. Aku mulai makan. Mom kembali ke dapur sambil menggigit bibir dengan kesal."Aku sedang mengingat-ingat," katanya. "Pasti dompet itu ada di suatu tempat." "Aku perlu sekali bicara, Mom," aku mencoba lagi. "Ada seekor kucing besar berbulu kelabu..." Mom menghilang lagi. "Ketemu!" serunya dari suatu tempat. Aku berdiri di depan meja, memakan sarapanku. Cahaya matahari masuk dari jendela dapur, membiaskan warna kuningnya ke seluruh ruangan. Pintu belakang terbuka. Aku mendengar anak-anak tertawa dan berteriak-teriak agak jauh di luar. Meski hari ini begitu ceria, aku tetap merasa letih dan murung. Aku masih terus memikirkan Rip. "Dia bukan kucing biasa." Ucapan Crystal yang ketakutan kembali terngiang di telingaku. "Mestinya kau tidak berurusan dengan Rip." Aku menelan sarapanku dengan lapar, tapi aku gemetar ketika teringat kucing itu menutupi wajahku saat aku tidur. Apa sebenarnya yang ingin dilakukannya? Benarkah dia mencoba membuatku tak bisa bernapas? Kubayangkan saat tubuhnya melayang ke luar jendela. Aku ingat suara BLUK yang keras itu ketika tubuhnya mendarat dua lantai di bawah. Dia mati. Tapi dia tidak mati. "Mom, aku benar-benar perlu bicara," teriakku. "Alison, tidak perlu berteriak begitu." Mom mengejutkanku. Ia berdiri tidak jauh dariku, di ambang pintu dapur. "Mom...," aku memulai. Tapi mata ibuku tertuju ke meja dan wajahnya tampak sangat terkejut. "Alison, apa yang kaulakukan?" serunya. "Apa yang kau makan untuk sarapan?" Aku menunduk dan menjerit kaget. "Oh, tidak. Tak mungkin!" Aku telah menghabiskan tiga kaleng ikan tuna, langsung dari wadahnya. 14 SAAT latihan sore itu aku merasa lebih baik. Memang aku tidak bersemangat seperti biasanya, tapi setidaknya aku tidak lagi gemetar dan merasa aneh. Aku cuma perlu tidur nyenyak, pikirku. Tidur tanpa diganggu seekor kucing misterius yang tahu-tahu berada di atas wajahku. Aku berjalan ke barisan kursi di auditorium, menuju panggung. Ryan dan Freddy sedang adu panco di samping singgasana, di tengah panggung. Freddy jauh lebih besar daripada Ryan dan ia hampir-hampir tak perlu mengeluarkan tenaga. Wajah Ryan merah padam dan ia mengernyit kesakitan ketika Freddy menekan lengannya. Anak-anak lain memberi semangat sambil tertawa-tawa. Di kanan panggung ada beberapa anak yang sedang membuat balkon puri. Balkon itu terbuat dari karton dan diikatkan di depan sebuah tangga yang sangat tinggi. Pada adegan terakhir, aku harus memanjat tangga itu dan bersandar di balkon ketika bicara dengan Ryan. Aku sudah beberapa kali mencoba tangga itu. Agak goyang. Aku tidak suka ketinggian. Naik ke tangga itu benar-benar membuatku ngeri. Tapi Mr. Keanes sudah menjanjikan bahwa tangga itu akan dipasang seaman mungkin. "Hati-hati saja saat mendaki undakannya," katanya. "Dan kau pasti tidak apa-apa." Aku meletakkan ranselku di sisi panggung, lalu berjalan ke singgasana. Saat aku mendekat, Freddy berhasil mengalahkan Ryan dalam adu panco. Freddy melompat bangkit sambil mengangkat kedua tangannya dengan penuh kemenangan, sementara anak-anak lain bersorak-sorak. Ryan menjauh, masih dengan wajah merah. Ia menggerutu dan menggoyang-goyangkan tangannya dengan kesakitan. "Jangan coba-coba adu panco dengan sang raja," seru Freddy. Aku bergegas mendekati Ryan. "Kurasa Freddy sudah keterlaluan," kataku. "Sejak kapan dia menyebut dirinya sang raja?" Ryan menggoyangkan tangannya lagi. "Dia curang," gerutunya. "Aku hampir menang tadi, tapi dia curang." Aku jadi tertawa. "Bagaimana bisa main curang dalam adu panco?" tanyaku. "Dia curang karena dia lebih besar dan lebih kuat daripada aku," kata Ryan. Kami sama-sama tertawa. "Mana Mr. Keanes?" tanyaku. "Ada di kantornya, sedang bicara dengan orang tua murid," sahut Freddy sambil mempermainkan mahkotanya. Ia menunjuk ke tangga. "Alison, kau sudah siap untuk adegan naik ke balkon?" Aku memandangi tangga yang tinggi itu. Tim panggung mengalami kesulitan mengikatkan balkon dari karton tadi. Salahseorang anak berseru nyaring ketika tangga berikut balkon itu hampir ambruk ke lantai. "Mungkin kita tidak akan berlatih adegan itu hari ini," kataku. "Aku belum sempat menghafal dialogku." Freddy menoleh ke Ryan. "Bagaimana tanganmu? Tidak patah, kan?" Ia nyengir lebar. "Tidak," sahut Ryan dengan cemberut. "Lain kali kau kuhabisi." "Lain kali?" Freddy tertawa. "Kau siap mencoba lagi?" Ryan menghindari tatapan Freddy. "Mungkin besok," gumamnya. Kami bercengkerama sebentar, sambil menunggu Mr. Keanes. Di tempat-tempat duduk, anak-anak paduan suara mulai berlatih menyanyikan satu lagu. Tim panggung akhirnya berhasil memasang balkon itu di tangga, lalu mereka turun untuk mengaguminya. Ryan sedang menceritakan peristiwa lucu yang terjadi pada kelas seni Mr. Clay tadi siang. Ia bisa meniru suara nyaring Mr. Clay dengan sangat baik. Kami semua tertawa dan berusaha meniru suara Mr. Clay juga. Tiba-tiba Ryan berhenti bercerita. Senyumnya memudar. Ia menyipitkan mata ke arahku. "Alison, kau kenapa sih?" tanyanya. "Kenapa kau melakukan itu?" "Aneh!" seru Freddy. "Kenapa kau menjilati punggung tanganmu?" Aku masih terus menjilati tangan kiriku, lalu memeriksa kedua-duanya. Sekarang sudah bersih. Aku mengeringkannya di celana jeans-ku. "Hei, kenapa kalian memandangiku?" tanyaku. 15 TAK lama kemudian Mr. Keanes muncul dan latihan dimulai. Mr. Keanes tampaknya lebih bersemangat daripada biasanya. Ia mondar-mandir di panggung, menyela kami setiap beberapa detik, menulis dengan cepat di clipboard-nya. Baru beberapa menit saja ia sudah berkeringat. Kurasa ia gugup karena pertunjukan tinggal seminggu lagi. Aku sendiri merasa agak gugup. Bisakah aku menghafal seluruh dialogku dengan baik pada saat itu? Aku melompat dan berputar mendadak, sebab rasanya aku mendengar suara kucing. Tapi ternyata itu hanya suara kursi lipat yang dibuka di auditorium. Ketika aku menoleh lagi, Mr. Keanes sedang memandangiku. "Kau tidak mendengarku, Alison?" tanyanya sambil mengamatiku dengan tajam dari balik kacamata bulatnya. "Kataku, ayo kita berlatih adegan di balkon itu." "Oh, maaf." Aku cepat-cepat berjalan ke tangga di sisi panggung. Mr. Keanes memanggil dua anak laki-laki untuk memegangi tangga itu. "Ini dia," gumamku. Aku menarik napas panjang dan mulai memanjat. "Bagaimana?" seru Mr. Keanes. "Tangganya mantap, tidak?" "Yeah. Lumayan," sahutku. Aku mencengkeram tepi-tepi tangga itu erat-erat dan menarik diriku, undakan demi undakan. Alison, jangan melihat ke bawah, kataku pada diri sendiri. Tapi akhirnya aku melirik juga ke arah Ryan, Freddy, dan yang lainnya. Mereka sedang mengawasiku memanjat. Aku sudah terengah-engah ketika tiba di atas. Kucengkeram tepi balkon karton itu dan melongok ke bawah. "Bagaimana cuaca di atas sana?" seru Freddy. "Lumayan," sahutku. "Agak berawan, tapi..." "Sudah sore. Kita coba adegannya," Mr. Keanes menyela tak sabar. "Ryan, ambil posisi." Ryan menggaruk kepalanya. "Aku harus ke mana?" Mr. Keanes memberi isyarat dengan clipboard-nya. "Di bawah balkon. Ya. Di situ. Sekarang ingat, Alison, kau sedang sangat marah padanya. Kau baru mengetahui bahwa dia ternyata bukan pangeran, dan kau ingin membalas perbuatannya." "Baik," seruku dari atas. "Aku akan sangat marah, M r. Keanes." Ia mengangguk dan menyuruh Ryan mulai. Tapi, sebelum Ryan sempat membuka mulut, Jenny, salah satu sekretaris di kantor Kepala Sekolah, berlari-lari ke tengah auditorium. "Alison! Alison!" panggilnya. Aku memandang ke arahnya. "Alison? Ada telepon untukmu," ia berseru padaku. "Dari ibumu." "Ha? Apa ada masalah?" tanyaku. "Tidak, tapi dia perlu bicara denganmu, sekarang juga," sahut Jenny. "Oke," kataku. "Aku turun sekarang." Aku melongok ke lantai panggung. Tidak terlalu jauh, pikirku. Aku bisa mendarat dengan mudah dengan kaki dan tanganku. Kuangkat tanganku ke depan, lalu aku melengkungkan punggung dan menendang dengan kakiku. Lalu aku melompat dari puncak tangga. 16 TERDENGAR teriakan dari bawah panggung. Saat melompat, kulihat Mr. Keanes menjatuhkan clipboard-nya. Ryan ternganga dan mengulurkan kedua tangannya, seolah berusaha menangkapku. Aku mendarat dengan keras pada tangan dan lututku di lantai panggung. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku. Aku berguling telentang. Dan terkesiap kaget. Kenapa aku melakukan itu? Kenapa aku melompat dari puncak tangga? Apa aku sudah sinting? "Tolong dia!" seseorang berseru. Auditorium itu dipenuhi seruan-seruan nyaring ketakutan. "Apa dia jatuh?" "Dia melompat?" "Apa dia tidak terluka?" "Cepat telepon 911." Kulihat Ryan, Freddy, dan beberapa anak dari tim panggung berlari ke arahku. Tapi aku tidak menunggu. Aku melompat bangkit dan lari keluar. Aku menabrak Jenny dan terus lari. Kudengar orang-orang memanggilku, tapi aku tidak berhenti. Aku tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Aku tidak mau mengatakan pada mereka, kenapa aku melompat seperti itu. Sebab aku sendiri tidak tahu, kenapa aku melakukannya. Aku tak bisa menjelaskannya. Sepanjang hari ini tingkahku aneh sekali. Sejak sarapan. Aku merasa ada yang tidak beres. Aku merasa bukan seperti diriku yang biasanya. Aku harus pergi ke suatu tempat untuk memikirkan ini. Tapi pertama-tama aku harus mencari tahu, kenapa Mom meneleponku di sekolah. Dengan terengah-engah aku menyerbu masuk ke kantor Kepala Sekolah. Pesawat telepon ada di meja Jenny, dan aku menyambarnya. "Hai, Mom, ini aku," kataku terengah-engah. "Alison, kenapa kau terengah begitu?" tanya Mom. "Aku melompat dari puncak tangga!" kataku. "Rasanya... aneh sekali, Mom. Aku merasa bisa mendarat dengan tangan dan kakiku." Aku menunggu Mom menjawab, tapi kudengar ia sedang bicara dengan Tanner. Tak lama kemudian, ia kembali ke telepon. "Maaf, aku tidak mendengarmu tadi. Tanner selalu saja menyela kalau aku sedang bicara di telepon. Kau bilang apa tadi, Alison?" "Eh, tidak apa-apa." Aku tidak berminat lagi memberi penjelasan. "Ada apa?" tanyaku. "Kenapa Mom meneleponku?" "Kau harus pulang dan menjaga Tanner," sahut Mom. "Ayahmu dan aku harus menemui bibimu. Ada urusan penting. Kau tahu kan Bibi Emma. Kedengarannya dia benar-benar panik." "Aku mesti pulang sekarang?" tanyaku. "Cepatlah," kata Mom. "Aku tak mau meninggalkan Tanner sendirian. Dia sedang rewel." Ia mendesah. "Kasihan dia. Kurasa ada sesuatu yang membuatnya takut di sekolah atau apalah. Dia kelihatan tegang sekali." Aku sendiri memang enggan kembali ke auditorium. Aku tidak mau ditanyai macam-macam. Aku senang karena punya alasan untuk pergi. "Aku akan segera pulang," kataku. *** Mom segera berangkat begitu aku pulang. "Buatlah sandwich atau apa saja untuk makan malam," kata Mom sambil masuk ke mobil. "Mudah-mudahan aku tidak pulang terlalu malam." Tanner memang sedang rewel. Ia duduk di lantai kamarnya, nonton film kartun di TV. Kucoba mengajaknya mengobrol, tapi ia menjawab malas-malasan. Aku duduk di sampingnya. Ia menjauh dariku sambil cemberut. "Kau cuma mau nonton TV?" tanyaku. "Mungkin," sahutnya tanpa menoleh. Lalu ia berpaling padaku. "Mau nonton kelanjutan film itu, tidak? Jeritan Kucing Setan?" "Tidak," seruku. "Film itu membuatmu ketakutan setengah mati. Ingat tidak?" Ia menyilangkan tangan di depan dada. "Kalau begitu, aku nonton film kartun saja." "Bagus. Beritahu aku kalau kau sudah ingin makan malam," kataku. "Aku tidak mau makan malam," katanya. "Kau tidak bisa bikin makanan yang enak." Dasar rewel! Pukul enam lewat sedikit, ia berubah pikiran. "Makan malamnya apa?" tanyanya. "Aku lapar." Aku juga lapar. Aku ingin sekali makan sandwich isi ikan tuna, tapi saat aku dan Tanner ke dapur, aku baru ingat bahwa aku sudah menghabiskan seluruh persediaan ikan tuna waktu sarapan tadi. "Mungkin aku mau minum susu saja," gumamku. "Ha?" Tanner melongo. "Aku boleh makan sandwich mentega kacang dan jeli, tidak?" "Boleh deh," jawabku. "Jelinya sedikiiit saja," ia menegaskan. "Iya, iya," gerutuku. Tanner selalu punya peraturan. Kalau jelinya terlalu banyak, ia tidak akan memakan sandwich-nya. Aku menyalakan lampu dapur dan kami berjalan ke lemari makanan. Aku baru hendak menanyakan pada Tanner, ia ingin roti biasa atau roti panggang, tapi tenggorokanku rasanya terhalang sesuatu. Aku terbatuk. Aku menelan dengan keras, lalu terbatuk lagi. Ada gumpalan besar di tenggorokanku. Aku tak bisa memuntahkannya. Aku menarik napas panjang dan batuk sekeras mungkin. Perutku bergolak. Gumpalan itu menyumbat jalan pernapasanku. Aku mulai tersedak dan tak bisa menghirup udara. Tanner melotot ketakutan. Ia meraih tanganku. "Alison, kau kenapa?" Aku tak bisa menjawab. Aku tersedak, berusaha batuk. Akhirnya aku membungkukkan seluruh tubuhku ke depan dan mendengus keras. Gumpalan itu bergerak, meluncur lewat tenggorokanku dan bergulir ke lidahku. Sambil bernapas keras aku meraihnya dari dalam mulutku. "Ohh!" Aku mengerang jijik. Segumpal bulu kelabu sebesar bola pingpong. Kupandangi gumpalan menjijikkan itu dengan ngeri. "Ihhh! Menjijikkan sekali," seru Tanner. Aku berpaling darinya. Aku tak ingin ia melihat bahwa aku sangat ketakutan. Apa yang terjadi padaku? pikirku. Pasti ada hubungannya dengan kucing itu. Dengan Rip. "Alison, kau sakit?" tanya Tanner dengan suaranya yang kecil. "Aku... entahlah," aku tergagap. Kupandangi lagi gumpalan memualkan itu. Akhirnya aku memutuskan bahwa aku harus kembali ke rumah seram itu. Tak ada pilihan lain. Aku harus bicara dengan Crystal. Ia harus memberitahuku, apa sebenarnya yang terjadi. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus pergi malam ini juga. 17 "ALISON kurang banyak mengoleskan mentega kacang di rotiku. Dan rotinya gosong," kata Tanner. Ia langsung mengadu begitu Mom dan Dad pulang. "Aku yakin Alison sudah berusaha sebaik mungkin," kata Dad sambil tersenyum padaku. "Dia payah," gerutu adikku. Aku menjulurkan lidah padanya. "Bibi Emma baik-baik saja?" tanyaku pada Mom. Mom mengangguk. "Ya, dia baik-baik saja." "Aku... aku mesti pergi sekarang," kataku tiba-tiba. Dad melihat arlojinya. "Sudah hampir setengah sembilan." "Aku sudah janji pada Ryan akan membantunya melatih dialognya untuk drama kami." Sebenarnya aku tidak senang berbohong pada orangtuaku, tapi tak mungkin aku mengatakan terus terang pada mereka bahwa aku akan menemui seorang gadis yang aneh untuk menanyakan tentang seekor kucing yang sudah kutewaskan tiga kali. Tak lama kemudian aku sudah berlari-lari kecil di Broad Street dan langkahku semakin cepat saat menuruni bukit. Malam itu sejuk dan cerah. Bulan pucat mengambang rendah di atas pucuk-pucuk pohon. Rumput-rumput di pekarangan-pekarangan rumah berkilauan oleh embun basah. Dua ekor anjing besar melompat dari tepi jalan. Keduanya memandangiku ketika aku lewat. Sebuah van yang penuh anak remaja menderu lewat; dari jendelanya yang terbuka terdengar gelegar musik rock. Aku memelankan langkah ketika rumah Crystal sudah tampak. Aku menajamkan mata melewati pekarangan yang dipenuhi alang-alang. Cahaya kelabu pucat membias keluar dari jendela depan. "Dia pasti ada di rumah," gumamku. Aku melangkah di jalan mobil yang berkerikil. Terdengar suara meong pelan dari dalam rumah. Beberapa sosok gelap memandangiku dari jendela. Aku menarik napas panjang dan mengetuk pintu depan. Rasa ngeri merayapi punggungku dan aku menggigil, padahal malam itu udara hangat. Di dalam rumah, meongan kucing-kucing semakin keras. Aku menghapus keringat di dahiku dengan punggung tangan. Lalu dengan gugup kusibakkan rambutku. Dan mengetuk lagi. Jantungku berdebar keras sementara menunggu. Apakah Crystal bisa menolongku? Bisakah ia menjelaskan apa yang terjadi? Akhirnya pintu depan berderit membuka. Crystal melongok dari cahaya yang kelabu. Ia mengenakan jumper hitam panjang. Bahkan dalam cahaya remang-remang itu aku bisa melihat bahwa pakaiannya penuh bulu kucing. Ia mengangkat matanya yang letih ke arahku. "Kau mau apa?" tanyanya tajam. Nadanya tidak terlalu bersahabat. "Aku... aku harus bicara padamu," kataku terbata-bata. "Kau ingat aku? Aku..." "Aku tidak bisa bicara sekarang," ia menyela. Kucing-kucing melolong di belakangnya. Seekor kucing hitam-putih melewati kakinya. Ia hendak menutup pintu. "Tapi aku perlu bantuanmu," desakku. "Aku perlu mengetahui..." Ia masih tetap memegangi pegangan pintu. "Apa ini tentang Rip?" tanyanya. Aku mengangguk. "Ya. Begini..." Ia mengangkat tangan untuk menghentikanku. "Tolong... pergilah," serunya. Matanya menyorot ketakutan. "Tolong... aku tak bisa." Aku menahan pintu agar ia tidak membantingnya. "Kau harus menolongku!" teriakku. "Kau harus menjelaskan apa yang terjadi." "Tidak!" katanya. Dagunya gemetar. Matanya yang ketakutan memantulkan cahaya kelabu yang misterius di belakangnya. "Tidak. Ibuku sangat tidak senang. Dia tidak mau aku bicara denganmu." "Tapi... dengar dulu!" pintaku. "Aku membunuh kucing itu. Aku tahu ini kedengarannya sinting, tapi aku membunuh Rip. Tiga kali." Crystal terkesiap. Ia menutupi mulutnya dengan tangan. “Dia…dia terus kembali," kataku. "Aku membunuhnya, tapi dia kembali lagi." Kucing-kucing di dalam rumah meratap. Crystal maju mendekatiku. Cahaya kelabu menyelubungi kami. Ia meraih lenganku. Tangannya sedingin es. "Berapa kali kau membunuh Rip?" tanyanya berbisik. "Tiga," sahutku. "Tiga kali." "Tidaaaak!" Ia berseru ketakutan. Tangannya yang dingin meremas lenganku. "Kenapa? Apa yang salah?" tanyaku dengan suara gemetar. "Apa maksudmu?" "Dia sudah menggunakan kedelapan nyawanya," erang Crystal sambil menggelengkan kepala. "Dia sudah menggunakan delapan. Sekarang dia akan sangat waspada. Hati-hatilah. Jauhi dia. Rip akan sangat nekat." 18 "AKU tidak mengerti," gumamku. "Tolong..." Crystal melepaskan pegangan tangannya dari lenganku. Aku masih sempat melihat sorot ketakutan di matanya. Lalu ia membanting pintu. "Tidak!" jeritku. "Kau mesti menjelaskan! Crystal! Buka pintu. Masih ada yang ingin kuceritakan padamu. Aku perlu bantuanmu. Rip mencakarku. Kau bisa mendengarku? Dia mencakarku." Tapi pintu itu tidak dibuka lagi. Kudengar seekor kucing mengeong nyaring di dalam sana. Dari celah di luar kulihat beberapa ekor kucing melotot padaku. "Crystal, dengarkan," pintaku. "Rip mencakarku, dan sejak itu aku merasa sangat aneh." Aku menempelkan telingaku di pintu kayu itu. "Apa kau masih di sana? Kau bisa mendengarku?" Tak ada jawaban. Aku mundur dari pintu. Kakiku gemetar hebat hingga aku nyaris jatuh. Aku memeluk tubuhku sendiri untuk menghentikan gemetarku. "Crystal?" panggilku. "Crystal?" Kucing-kucing itu memandangiku dari jendela. Mata mereka bersinar-sinar seperti lampu bohlam kecil. Aku mundur ke pekarangan. Dan merasa seseorang mencengkeram bahuku. Dengan terkesiap kaget aku membalikkan tubuh. "Ryan!" seruku. "Kenapa kau ada di sini?" Ia melepaskanku dan mundur selangkah. Napasnya terengah-engah. "Aku sedang pulang naik mobil bersama orangtuaku, dan aku melihatmu di sini," katanya. "Aku balik kemari, lari sepanjang jalan." Ia membungkuk sambil menekankan tangan ke lututnya, menarik napas. "Alison, apa yang terjadi?" tuntutnya. Ia menunjuk ke rumah Crystal. "Sedang apa kau di sini? Apa kau melihat kucing itu lagi?" Aku mulai berjalan. Ryan bergegas mengikuti. Aku belok kanan, menjauh dari arah ke rumahku. Aku melangkah ke dalam bayang-bayang gelap sebaris semak-semak pagar. "Aku harus bicara pada gadis itu," kataku pada Ryan. "Aku harus mengajukan beberapa pertanyaan. Tapi dia tidak mau menolongku." Aku menyeberangi jalan dan terus melangkah. Sesudah blok ini tidak ada rumah-rumah lagi. Kami melewati sebuah daerah berhutan. Pepohonan bergoyang-goyang diembus angin lembut. Aku belum pernah berjalan ke sini. Tapi, karena suatu alasan yang aneh, aku merasa sudah tahu ke mana tujuanku. Di seberang jalan berikutnya ada sebuah lapangan lebar yang kosong. Alang-alang tinggi menganggukangguk saat kami lewat. "Hei, pelan-pelan. Kenapa dia tidak mau menolongmu?" tanya Ryan yang berlari-lari kecil di sampingku. "Dia terlalu takut," gumamku. "Hah?" "Dia terlalu takut," ulangku. "Setiap kali aku menyebut-nyebut Rip, dia langsung ketakutan." "Rip itu kucingnya?" tanya Ryan. Aku angkat bahu. "Dia terlalu takut untuk menceritakan apa pun padaku. Anak itu aneh. Dia terus bicara tentang ibunya. Katanya ibunya tidak akan senang dengan apa yang terjadi." "Apa urusan ibunya dengan semua itu?" tanya Ryan. "Entahlah." Aku berbelok di tikungan berikutnya. Melewati segerumbulan semak rendah. Di situ tampak sebuah lapangan lain yang juga penuh alang-alang. Ryan mengibaskan rambutnya. "Kita mau ke mana?" tanyanya. "Ha?" Entah kenapa, pertanyaannya tidak masuk akal bagiku. Aku berusaha keras rnenemukan jawabannya, tapi sekonyong-konyong aku seperti tersihir. Masih terus berlari-lari kecil, aku melayangkan pandang ke sekitarku dengan bingung. "Kenapa kau menuju ke sini, Alison?" tanya Ryan terengah-engah. Kusadari bahwa sekarang aku sudah berlari. Tapi ke mana? Kenapa aku menuju kemari? Kami melewati sebuah lapangan kosong lagi. Sekarang tidak ada lampu jalanan. Kegelapan menyelimuti kami. Angin dingin berembus. Aku terus berlari. Ryan mengikuti dekat di belakangku. Aku belum pernah melewati jalan ini. Kenapa sekarang aku ada di sini? "Alison, berhentilah," pinta Ryan. "Kau mau ke mana? Kenapa kau melakukan ini? Bisakah kita berhenti dan bicara sebentar?" Aku tidak menjawab. Aku berbelok dan melintasi lapangan kosong itu. Alang-alang menghantam kaki celanaku saat aku berlari. Sepatuku melesak ke tanah yang lembek dan basah oleh embun. Ada sesuatu yang menarikku ke tempat ini. Suatu kekuatan yang tidak tampak. Aku merasa tersihir. Lepas kendali. Aku melompati segerumbul semak-semak rendah. Bulan mengintip keluar dari balik segumpal awan gelap. Cahaya putih menyiram kami. Seluruh dunia tampak bercahaya. Ryan mencengkeram tanganku. "Alison, berhenti," bisiknya. "Lihat, ada di mana kita." Aku memandang berkeliling. Berusaha memfokuskan mataku. Kulihat batu-batu pendek menonjol keluar dari antara rumput tinggi. "Alison, kenapa kau mendatangi kuburan ini?" tanya Ryan pelan, suaranya gemetar. "Aku... aku tidak tahu," sahutku ketakutan. "Sungguh, aku tidak tahu. Sesuatu menarikku ke sini. Sesuatu memaksaku kemari." Masih kebingungan, aku maju beberapa langkah ke arah batu-batu nisan itu. Kemudian sesuatu mencengkeram mata kakiku. 19 AKU membuka mulut dan menjerit ngeri. Ryan melompat ke sampingku. Ia membungkuk dan menarik seutas akar panjang yang melilit sepatuku. "Kupikir..." Jantungku berdebar kencang. Aku berdeham. "Kukira ada yang mencengkeramku." Ryan tertawa. "Cuma seutas akar. Kau berjalan tepat ke tengahnya. Kuharap kau tidak mulai aneh-aneh lagi." Aku menggosok-gosok mata kakiku. Kepalaku pening dan kulitku rasanya kesat seluruhnya. "Ayo pergi dari sini, Alison." Ryan menarik-narik lenganku. "Tidak. Tunggu." Aku menjauh darinya dan maju beberapa langkah lagi ke arah batu-batu nisan itu. Angin bertiup lebih kencang, membuat rumpu-rumput rebah di depanku. Batu-batu nisan itu bersinar temaram di bawah cahaya pucat bulan separuh. "Batu-batu nisan ini kecil sekali," gumam Ryan. Kami melangkah berdekatan ke deretan nisan di belakang. Beberapa sudah roboh dan tergeletak begitu saja, dikelilingi rumput tinggi. Aku membungkuk untuk membaca tulisan yang terukir di sebuah nisan rendah. SPUD. "Nama macam apa itu?" tanyaku pada Ryan. Ia membaca nama-nama di batu-batu nisan lainnya. SPIKE, MILLIE, FLASH, WHITEY.... Ryan berpaling padaku, wajahnya mengernyit bingung. "Ini kuburan binatang," katanya. "Hah?" Suaranya kedengaran sangat jauh. Aku menyipitkan mata ke arah barisan nisan yang tampak seram dalam cahaya pucat itu. "Binatang?" "Kenapa kau membawaku kemari?" tanya Ryan lagi. "Ini kuburan binatang. Semuanya untuk kucing dan anjing. Lihat, ini ada anjing yang namanya Rover. Apa ada orang yang benar-benar menamai anjingnya Rover?" Ryan masih terus bicara. Ia memeriksa lagi barisan batu nisan itu. Tangannya menelusuri puncak-puncak nisan tersebut. Kurasa ia sedang menyebutkan nama-nama binatang yang mati itu, tapi aku tidak mendengarnya. Terdengar suara siulan pelan di telingaku. Suara Ryan kedengaran bermil-mil jauhnya. Batu-batu nisan itu tegak di hadapanku, mengingatkanku pada barisan gigi yang sudah rusak. Suara Ryan memudar semakin jauh. Aku berjalan di antara baris-baris nisan itu tanpa melihat apa pun. Tanpa menyadari bahwa aku berjalan. Aku serasa melayang dalam dunia yang sunyi. Duniaku sendiri. Aku berhenti di depan sebuah nisan rendah. Bagian atas dan sisi-sisinya sudah pecah-pecah. Kucoba membaca nama yang terukir di situ. Tulisannya hampir pudar. Aku mesti membungkuk dan mendekatkan wajah agar bisa melihatnya dengan jelas. Suara siulan di telingaku semakin keras dan nyaring. Lalu menghilang. Aku berdiri diam. Dan memandangi nama pada nisan itu. RIP. Mataku terpaku pada keseluruhan tulisan di situ. RIP. 1981-1993 "Dia sudah mati," gumamku. "Dia sudah mati. Itu sebabnya aku tak bisa membunuhnya. Dia sudah bertahun-tahun mati." 20 AKU melotot ke arah batu-batu nisan itu, tak sanggup berpikir, tak sanggup bergerak. Ucapan Crystal kembali bergaung di telingaku, "Dia bukan kucing biasa. Mestinya kau tidak berurusan dengan Rip." Rip sudah mati, pikirku. Kucing mati yang kutewaskan tiga kali lagi. "Dia akan sangat nekat sekarang," Crystal sudah mengingatkanku. "Itu nyawanya yang kedelapan. Sekarang dia akan sangat nekat." Apakah ia percaya cerita lama itu, bahwa kucing mempunyai sembilan nyawa? Aku tidak percaya. Tapi benarkah? Kalau kucing itu hanya mempunyai satu nyawa, berarti dia mati selamanya dan terkubur di bawah nisan ini. Mati dan terkubur pada tahun 1993. Tak mungkin dia lari ke bawah roda sepedaku. Tak mungkin dia bisa menutupi wajahku ketika aku tidur dan berusaha membuatku kehabisan napas. Kalau dia hanya mempunyai satu nyawa, tak mungkin dia bisa mencakarku. Tak mungkin dia bisa meninggalkan bekas-bekas cakaran berwarna putih itu di kulitku. "Alison... kau sedang apa?" Seruan nyaring Ryan masuk ke dalam kesadaranku. Aku merasakan tangannya di bahuku. Tapi aku tidak membalikkan tubuh. Dan aku juga tidak bangkit berdiri. Aku sedang berlutut di rumput yang basah. Embun yang dingin meresap menembus celana jeansku, tapi aku tidak peduli. "Alison, kau sedang apa?" Aku tahu apa yang kulakukan. Aku sedang menggali-gali kuburan kucing itu. Dengan panik aku melemparkan segumpal tanah basah dengan dua tangan. Aku lalu menggali dengan cepat sambil membuang tanahnya dengan gerakan liar ke belakangku. Aku mencakar-cakar seperti seekor binatang. Tanganku terbenam semakin dalam dan semakin dalam. Aku mesti melihat kerangka kucing itu. Aku mesti memastikan dia benar-benar ada di bawah sini. "Alison, ayo pergi." Ryan berdiri di dekatku. Suaranya tinggi melengking. "Alison... ayolah." Aku tidak menjawab. Aku tidak ingin bicara dengannya. Aku tidak ingin menjelaskan. Aku tak ingin ia melihatku menggali-gali begini, mencakar-cakar dengan sangat liar dan putus asa. Lebih dalam... lebih dalam. Membungkuk di atas lubang makam. Ada seruan-seruan pelan seperti suara binatang. Lalu kusadari bahwa suara-suara itu keluar dari mulutku. "Oh... oh... oh... oh." Setiap kali menarik napas, erangan pelan itu ikut meluncur keluar. Keringat yang terasa panas mengaliri dahiku. Kedua tanganku terasa sakit. Tanah basah menempel di bawah kuku-kukuku. "Alison... hentikan!" seru Ryan. "Alison... kau membuatku takut. Kau benar-benar membuatku takut. Kau bisa berhenti, tidak?" Tidak, aku tidak mau berhenti. Aku tidak bisa berhenti. Aku mesti tahu yang sebenarnya tentang Rip. Aku mesti yakin bahwa ia sudah terkubur di bawah batu nisan ini. Aku membungkuk lebih dalam dan terus menggali. Kemudian tanganku menyentuh sesuatu yang keras. "Ow!" teriakku, bukan karena sakit, tapi karena kaget. Terengah-engah seperti binatang aku mulai melemparkan tanah lebih cepat dan lebih cepat. Sebuah peti kayu berwarna gelap tampak olehku. Aku membersihkannya dari tanah yang menutupi. Setelah bersih, barulah aku bisa melihat keseluruhan kotak itu. "Ini peti mati si kucing," kudengar Ryan bergumam di belakangku. "Alison, kau mau apa dengan peti itu?" Sambil mengerang keras aku meraih kedua sisi peti tersebut dan menarik-nariknya. Ternyata lebih berat daripada yang kukira. Aku terpeleset dan hampir jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam lubang makam. "Tidak!" seruku. Aku berhasil menjaga keseimbangan. Lalu aku menjulurkan kepala lagi. Kupegang kedua sisi peti itu erat-erat, lalu kutarik keluar dari dalam lubang makam. .Sambil terengah-engah aku mengempaskan peti itu ke tanah dan membersihkan tutupnya dari tanah yang menempel. Ryan berdiri di belakangku. "Aku tidak percaya," gumamnya. Ia berlutut di sampingku. "Kau benar-benar mau membuka peti ini rupanya?" Aku tidak menjawab. Aku bernapas dengan susah payah. Tenggorokanku terasa sangat kaku dan kering. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa bicara. Dengan gemetar aku mengulurkan kedua tanganku dan sekali lagi memegang peti mati kucing itu. Lalu kuangkat peti itu ke pangkuanku. Sesaat aku hanya terpaku memandanginya. Lalu aku menelan ludah dengan tegang. Kupegang tutup peti dengan dua tangan... dan kubuka. 21 DENGAN cakar-cakar terangkat tinggi kucing itu melompat menerkamku. Aku melihat kilatan matanya yang kuning. Lalu seringai taringnya yang tajam. Saat melompat keluar dari peti mati, ia membuka mulutnya dan mengeluarkan desisan nyaring. Aku tidak sempat menghindar. Peti mati yang terbuka itu jatuh dari pangkuanku. Cakar-cakar si kucing menghantam bahuku dan aku jatuh telentang. Kudengar Ryan berteriak kaget di tengah suara desisan si kucing. Aku mengangkat kedua tanganku untuk menahan makhluk itu, tapi tubuhnya yang panas dan berbulu menutupi wajahku dan cakar-cakar depannya memeluk leherku dengan erat. Dia berusaha membuatku tercekik lagi, pikirku. Aku mencengkeram punggungnya. Beberapa saat kami bergulat, berguling-guling di rumput yang basah. Aku membuka mulut untuk menarik napas... tapi aku justru menelan segumpal bulu kucing. Dengan tersedak aku berusaha menarik kucing itu dari wajahku. Di atasku kudengar Ryan berseru-seru panik. Lalu aku merasa kucing itu diangkat dari wajahku. Aku berguling dari bawahnya. Dengan terengah-engah aku berlutut. Ryan memegangi kucing itu dengan dua tangan di perutnya. Si kucing menendang-nendangkan kaki-kakinya dengan marah sambil mendesis-desis. Sepasang matanya yang kuning berkilat-kilat murka seperti dua buah api kecil. "Bangun, Alison," seru Ryan yang masih bergulat dengan kucing yang marah itu. Aku bangkit berdiri dengan gemetar. Kepalaku serasa berputar. Kucoba mengusir rasa pening dengan mengerjap-ngerjapkan mata. "Lari! Aku... aku tidak bisa terus memeganginya," erang Ryan. Rip menendang dengan keras. Seluruh tubuhnya meliuk-liuk. Ia hampir lepas. Ryan masih berusaha memeganginya. "Lari, Alison!" Lari ke mana? Aku menarik napas panjang dan mulai berlari. "Tidaaaak!" seruku ketika kakiku tersandung peti mati kucing itu. Aku jatuh pada siku dan lututku di rumput. Aku membalikkan tubuh dan melihat si kucing berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Ryan. Sepasang mata kuningnya menyala-nyala. Ia memamerkan giginya yang tajam. Ia merundukkan kepalanya, dan mengendap-endap ke arahku. Ryan melangkah maju. Ia membungkuk dan mencoba meraih kucing itu lagi. Tapi si kucing berputar dan dengan ganas mengayunkan satu cakarnya ke wajah Ryan. Ryan mundur. Tapi Rip lalu berhenti dan berdiri di atas kaki belakangnya. Sekali lagi matanya memandangiku dengan marah. Lalu Rip menengadahkan kepalanya dan mengeluarkan lengkingan panjang dan nyaring. Begitu nyaring, hingga aku harus menutup telingaku. Segalanya seakan membeku. Ryan. Aku. Kucing yang berdiri dengan kaki belakangnya itu. Kami semua seakan membeku sejenak. Lalu aku mendengar suara gemuruh pelan dan tanah mulai bergetar. Di sekeliling kami batu-batu nisan mulai bergoyang dan bertumbukan. Sebuah batu nisan roboh dan dua lainnya saling tabrak. Kemudian suara gemuruh pelan itu berubah menggelegar. Rumput-rumput gemetar. Tanah berdenyut naik turun. Aku melihat segumpal asap hitam melayang dari depan sebuah batu nisan yang bergoyang. Sebuah batu nisan lain bergerak-gerak, lalu roboh dengan dahsyat ke tanah. Semua makam itu bergetar dan bergoyang-goyang. Sebuah gumpalan asap kecil lainnya meliuk keluar dari lubang di depan sebuah batu nisan. Aku menoleh dan melihat banyak gumpalan asap hitam keluar dari makam-makam itu. Melayang di atas rerumputan, semakin pekat. Tanah bergetar dan berguncang. Asap hitam di mana-mana. Udara menjadi dingin, sangat dingin.... "Apa yang terjadi?" seruku dengan suara pelan ketakutan. "Ryan, apa yang terjadi?" 22 RYAN tidak menjawab. Aku berusaha mencarinya di tengah kabut, tapi asap yang mengelilingiku terlalu tebal dan hitam. "Ryan?" panggilku. "Kau baik-baik saja?" Tidak ada jawaban. Asap hitam itu mengelilingiku. Begitu dingin. Udara begitu dingin. Bau yang memuakkan merayap ke hidungku. Seperti bau daging yang sedang membusuk. Sementara kabut gelap itu masih melayang-layang, aku mulai melihat sosok-sosok. Ada kepala-kepala, kaki-kaki kurus, ekor-ekor yang melengkung, semuanya melayang dalam kabut. Kucing-kucing. Kucing-kucing yang sudah mati. Kucing-kucing hantu. Melayang keluar dari makam mereka. Belasan kucing hantu melayang-layang mengelilingi aku, mata mereka yang kelabu bersinar suram. Bau daging yang membusuk itu semakin tajam. Udara-pun semakin dingin. Aku menggigil. "Tidak... jangan." Aku mencoba bergerak. Aku mesti pergi dari sini. Tapi kucing-kucing dan asap itu mengelilingiku seperti pusaran tornado yang gelap. Kucing-kucing itu mengawasiku dalam diam, berputar-putar dalam kabut. Semakin cepat dan semakin cepat. Aku terperangkap. Aku tak bisa melihat. Dan tak bisa bergerak. "Ryan?" panggilku. "Apa kau juga terperangkap?" Tak ada jawaban. Aku mulai tersedak gara-gara asap itu. Kututupi mulut dan hidungku dengan satu tangan dan kulindungi mataku dengan tangan lainnya. Bisakah aku lari melewati mereka? pikirku. Apakah mereka hanya berupa asap? Bukan tubuh yang nyata? Bisakah aku meloloskan diri dari mereka? Bau yang memuakkan itu semakin dominan. Dengan terbatuk-batuk aku mengangkat mata ke arah kucing-kucing yang berputar-putar itu. Kuhantam tornado asap itu dengan bahuku. Kegelapan menyelimutiku. Menelanku. Mengitariku. Kupaksakan diri untuk maju dengan kepala dan bahu dirundukkan. Lengkingan-lengkingan kucing-kucing hantu itu terdengar di sekitarku. Erangan pelan kucing-kucing yang sudah mati. Kabut itu makin gelap dan makin gelap... dan hidup. Hidup dengan hantu-hantu yang melayang dan mengerang. Aku mendorong dengan keras. Kurundukkan bahuku lagi, lalu aku maju dengan kaki gemetar. Dan berhasil lewat. Udara malam yang dingin menerpa wajahku. Bulan keperakan berkilauan di hadapanku. Aku melihat batu-batu nisan yang sudah roboh tadi. Juga lubang-lubang dalam, tempat hantu-hantu itu keluar. Di mana Ryan? Aku memanggil-manggilnya, tapi seruan dan erangan kucing-kucing hantu di belakangku menenggelamkan teriakanku. Aku tidak menoleh lagi. Aku terus berlari. Aku menghirup udara segar banyak-banyak dan terus berlari. Sepatuku terpeleset-peleset di rumput yang basah dan jantungku berygemuruh kencang sekali. Aku keluar dari kompleks makam yang mengerikan itu. Melintasi lapangan kosong yang penuh alang-alang. Aku lari dengan panik, melewati segerumbulan semak-semak tinggi. Menyeberangi jalan. Lalu satu jalan lagi. Dan kudengar suara BLUK keras di belakangku, terus mengikutiku. Dengan ngeri aku menoleh. Rip mengikutiku. Matanya menyala-nyala. Cakar-cakarnya yang gelap menapak di jalanan. Ekornya melengkung di belakang. Ia mendesis ketika mata kami bertemu. Aku mengangkat mataku. Di belakang Rip kulihat kabut gelap berisi kucing-kucing hantu yang terus mengerang-erang itu. Mengikutiku. Melayang cepat. Berputar dan berputar sambil terus melayang. Menyapu jalanan di belakangku. Aku membungkukkan badan dan memaksakan diriku lari lebih cepat. Perutku sakit dan pelipisku berdenyut-denyut. Kucing-kucing mati itu mengerang dan meratap di belakangku. Begitu dekat. Cakar-cakar Rip berbunyi keras di tanah. Aku berbelok. Rumah Crystal tampak di hadapanku. Gelap. Hanya ada cahaya kelabu dingin dari jendela depan. Dengan terengah-engah aku memaksakan diri lari ke pekarangan depan, ke pintunya. Seluruh tubuhku terasa sakit saat aku mengangkat kedua tanganku dan menggedor-gedor pintu depan. "Crystal, tolong aku! Tolong aku!" Suaraku serak oleh rasa takut. "Crystal! Buka pintu! Kau harus menyelamatkanku. 23 TAK ada jawaban. Tak ada suara dari dalam rumah. Aku beralih ke jendela depan. Kosong. "Crystal, tolonglah," pintaku. Aku menggedor-gedor pintu depan dengan panik. "Crystal?" Aku melihat ke jalanan. Rip sudah tiba di ujung pekarangan depan. Ia sekarang melangkah di rumput yang basah, matanya tajam menatapku, berkilat-kilat. Kabut gelap berisi hantu-hantu itu mengikutinya dekat di belakang. "Crystal...," pintaku. Kuangkat kedua tanganku untuk menggedor lagi. Dan akhirnya pintu itu dibuka. "Crystal...," kataku tercekat. Ia mengulurkan tangan dan menarikku ke dalam. "Aku... aku..." Aku tak bisa berbicara karena terengah-engah, berusaha menghirup udara. Aku terpuruk di dinding, menunggu sampai kepalaku berhenti berdenyut-denyut dan rasa sakit di perutku hilang. "Rip...," kataku akhirnya. "Dan kucing-kucing mati... melayang seperti asap... dan..." Anehnya Crystal justru merangkulku. "Oh, Alison, kasihan kau," serunya. "Sungguh, aku kasihan sekali padamu." Ia menekankan pipinya ke pipiku dan memelukku dengan penuh perasaan. Ketika ia melepaskanku, kulihat wajahnya yang pucat tampak cemas... dan takut. "Aku sudah memperingatkanmu," bisiknya. "Rip bukan kucing biasa. Rip tidak akan berhenti. Sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya." Aku tercekat. "Apa yang diinginkannya?" tanyaku terbata-bata. Crystal menunduk. "Nyawamu," sahutnya. "Tapi kenapa?" tanyaku. Crystal menarikku ke lorong. "Tak ada waktu untuk menjelaskan," katanya. "Dia memilihmu." "Ha?" seruku. "Aku tidak mengerti. Aku..." Seekor kucing mengeong di depan pintu. Aku terlompat. "Itu Rip," bisik Crystal. "Rip dan kucing-kucing lainnya. Yang lain itu adalah para budaknya. Pintu yang terkunci pun takkan bisa menghalangi mereka." "Tapi...," aku memulai. "Tak lama lagi mereka bisa masuk ke rumah," kata Crystal, matanya terpaku ke pintu. "Ayo, Alison, kita harus bergerak cepat." "Tapi bisakah kau menolongku?" seruku sambil mengikutinya ke belakang rumah. "Bisakah kau melindungi aku darinya?" Crystal menarikku melalui lorong belakang. Ia berhenti di depan sebuah pintu yang terkunci. Aku bisa mendengar lolongan kucing-kucing dari depan rumah. Dan lengkingan Rip yang penuh ancaman. "Bisakah kau menolongku?" tanyaku lagi. Crystal membuka pintu itu. Di baliknya hanya ada kegelapan. "Hanya ibuku yang bisa menolongmu," bisiknya. "Hanya Mom yang bisa menyelamatkanmu darinya." Kudengar suara langkah-langkah berat di depan rumah. Lengkingan kucing-kucing itu semakin keras. Apakah mereka sudah masuk ke dalam rumah? Crystal menyalakan lampu. Kulihat anak-anak tangga yang curam mengarah ke bawah. "Cepat," ajaknya. Aku tidak mengerti. "Kita turun ke sana?" tanyaku. "Tapi... di mana ibumu?" "Di bawah sana," sahut Crystal. Ia menyipitkan mata ke lorong yang panjang. "Cepat. Hanya Mom yang bisa menolongmu. Hanya Mom yang tahu bagaimana mengatasi Rip." Aku memandangi tangga yang curam itu. Dalam cahaya yang kelabu bisa kulihat sebuah tembok dari batu di bawah. Rasa ngeri menjalari punggungku. Aku mundur. "Ibumu ada di bawah sana?" tanyaku. Crystal mengangguk. "Jangan takut, Alison. Aku akan ikut denganmu. Aku akan membantumu." Aku menarik napas panjang. Tangga ini tidak mempunyai birai. Tidak ada tembok di kedua sisinya. Tidak ada tempat untuk berpegangan. Kakiku masih gemetar akibat berlari lama dari kuburan tadi. Aku menggigil lagi. "Cepat," desak Crystal. Aku maju satu langkah. Lalu satu lagi. Perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Aku turun ke bawah sana. Crystal mengikuti dekat di belakangku, memegangi tanganku. Ketika akhirnya kami tiba di bawah, aku melepaskan tangannya dan melayangkan pandang. Dua bohlam suram di langit-langit menerangi ruang bawah tanah yang panjang ini dengan cahaya kelabu kehijauan. Ruangan ini dilengkapi dengan sebuah meja panjang di tengah-tengah. Meja itu penuh dengan berbagai peralatan laboratorium yang aneh. Di sepanjang tembok ada barisan mesin yang dihubungkan dengan kawat dan kabel-kabel. "Ini laboratorium Mom," kata Crystal pelan. "Ibumu seorang ilmuwan?" tanyaku. Crystal tidak menjawab. Ia memanggil-manggil, "Mom? Mom?" Suaranya bergema di tembok-tembok batu itu. Aku mendengar suara batuk, lalu seseorang bergerak di bagian belakang ruangan. Kemudian kudengar langkah kaki pelan di lantai. "Hanya Mom yang bisa menolongmu," Crystal mengulangi sambil berdiri di dekatku. "Mom dulu harus berurusan dengan Rip... dan seluruh nyawa cadangannya." "Hah? Apa Rip benar-benar sudah mati?" bisikku. "Aku melihat kuburannya dan…” Suaraku makin pelan ketika bunyi langkah kaki itu semakin keras. Aku menahan napas dan menunggu. Benarkah ibu Crystal bisa melindungiku dari kucing setan itu dan para budaknya? Di ujung ruangan panjang itu sebuah sosok bungkuk muncul. "Itu Mom," kata Crystal. Aku berusaha menajamkan mata untuk melihatnya. Lalu aku terperangah dan menjerit ngeri. 24 AKU menahan jeritanku dengan tangan, lalu aku mundur ketakutan ke tembok batu. Ibu Crystal berwajah manusia, tapi dua telinga kucing yang runcing mencuat dari rambutnya yang kelabu kusut. Dan kumis-kumis kucing berwarna putih tampak dari kedua pipinya. Ia maju lebih dekat. Ia mengenakan sweater hitam dan rok merah panjang. Tangan kanannya masih tangan manusia, tapi tangan kirinya berbentuk kaki kucing. Dari bagian belakang roknya juga mencuat ekor kucing yang berbulu. Ketika ia mendekatiku, kulihat bagian belakang lehernya ditiitupi bulu kucing juga. "Ohhh," aku tak dapat menahan seruan ngeriku. Dia setengah manusia setengah kucing. "Kadang-kadang orang memang terkejut melihatku," kata ibu Crystal padaku. Lalu ia mengeong. Aku terkesiap. "Aku... aku..." Ia mengulurkan tangan dan meraih lenganku. Lalu ia menundukkan kepala. Kumis kucingnya menyentuh kulitku. "Hentikan!" teriakku ketika ia membuka mulutnya dan menjilat bahuku. "Aduh... hentikan!" Ia mundur dengan tersinggung. "Aku cuma membersihkanmu sedikit," keluhnya. Lalu ia menggaruk bulu di belakang lehernya dengan tangan manusianya. Rasa mual menerpaku. Ia tampak sangat aneh, sangat menakutkan. Seluruh tubuhku gemetar. Kakiku mulai lemas. Aku memeluk tubuhku dengan erat dan bersandar ke tembok agar tidak jatuh. Seulas senyuman aneh tersungging di wajah ibu Crystal. Ia menepuk-nepuk tanganku dengan cakarnya. Lalu senyumnya memudar dan ia menoleh pada Crystal. "Apa dia sudah siap?" Crystal mengangguk. "Ya, dia sudah siap." "Kau... kau akan menolongku, bukan?" tanyaku pada Crystal. "Tidak," sahut Crystal. Sepasang matanya yang gelap menatapku dengan dingin. "Tidak, Alison, maaf, tapi kami tidak akan menolongmu. Kaulah yang akan menolong kami." "Pegangi dia untuk Rip," perintah Mom. 25 “TIDAK!" Aku menjerit dan melesat ke tangga. Tapi Crystal bergerak cepat menghalangi jalanku. Ia menangkap tubuhku dan menahanku. Aku meliuk-liuk berusaha melepaskan diri, tapi ia memegangiku dengan erat. Lalu aku merasa cakar ibunya melingkari pinggangku. Mom mengeong, lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berbisik, "Jangan coba-coba melarikan diri. Dia sudah memilihmu. Rip memilihmu." "Aku tidak mengerti," erangku. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Crystal mengetatkan pegangannya. "Kau menabraknya," gumamnya. "Kau mengambil satu nyawanya, jadi dia memutuskan kaulah yang akan jadi korban berikutnya." "Berikutnya?" seruku. "Apa maksudmu?" Cakar Mom semakin mengetat di pinggangku. Aku tak bisa bergerak. "Kaulah yang berikutnya akan memberikan hidupmu untuknya," kata Mom. "Hah? Memberikan hidupku?" jeritku. "Apa Anda sudah memberikan hidup Anda? Anda juga sudah mati?" Mom menggeleng. Kumis kucingnya menyapu pipiku. "Tidak, aku tidak mati. Tapi hampir. Aku tak punya nyawa lagi untuk kuberikan padanya. Itu sebabnya kami membutuhkanmu." Ia mendesah berat, lalu menunjuk dengan tangan manusianya ke meja lab yang panjang. "Semua eksperimenku berakhir mengerikan," katanya sedih. "Percobaanku dengan kucing-kucing itu merupakan kesalahan besar." Ia menggeleng. "Semua kucing itu mati. Aku menguburkan mereka di kuburan binatang. Tapi Rip terlalu kuat dan jahat untuk mati. Dia menolak tetap mati, dan dia menghidupkan kembali kucing-kucing lain untuk dijadikan budaknya." Aku terpaku memandanginya, gemetar, tak percaya dengan apa yang kudengar. "Aku... aku tidak mengerti," kataku. Mom menekan pinggangku dengan cakarnya. "Apa dia mencakarmu?" tanyanya. "Apa Rip mencakarmu?" Aku mengangguk. "Ya. Satu kali. Di kakiku." "Setiap kali dia mencakarmu, kau jadi mirip sedikit dengannya," Mom menjelaskan. "Dan setiap kali dia mencakarmu, dia juga mengambil sedikit hidupmu, untuk memastikan agar kesembilan nyawanya tidak habis." "Itu sebabnya dia bisa berkeliaran di luar kuburannya," gumam Crystal. "Dia telah menggunakan energi Mom. Dan hidup Mom...." Mom mendesah lagi. "Kau bisa melihat sendiri apa yang telah dia lakukan padaku. Setiap cakaran membuatku lebih mirip dengannya. Dia ingin Crystal menyerahkan hidupnya untuk dia, tapi aku tidak rela. Jadi, kuberikan hidupku untuk menyelamatkan Crystal." Mata wanita itu menatap mataku dengan berapi-api. "Tapi sekarang aku tidak mempunyai sisa kehidupan lagi," bisiknya. "Begitu banyak cakarannya... begitu banyak...." Aku mendengar suara di seberang ruangan. Aku menoleh dan melihat Rip. Ia berdiri di puncak tangga, matanya yang kuning menatap kami. "Dia di sini," seru Crystal. "Gadis ini sudah siap untukmu," Mom berseru pada kucing itu. "Gadis ini punya kehidupan baru untukmu, Rip." "Tidaaaak!" Sebuah lengkingan nyaring terlompat dari mulutku.. "Kau menabraknya," kata Crystal sambil mempererat pegangannya. "Kau berutang padanya, Alison." "Tidak akan sakit," tambah Mom. "Cakarannya memang dalam, tapi tidak mengeluarkan darah." "Tapi... tapi...," aku terbata-bata dan jantungku berdebar kencang. Aku ternganga memandang Mom. "Maksud Anda, aku akan jadi seperti Anda?" "Tidak terlalu parah, bukan?" sahut Mom. "Kau akan terbiasa." 26 AKU mengangkat wajah dan melihat Rip bergerak tanpa suara menuruni tangga. Ia berhenti di anak tangga paling bawah dan menatapku dengan dingin, tanpa berkedip. Di puncak tangga terdengar lolongan dan ratapan. Kucing-kucing mati itu bermunculan, melayang di atas lantai. Mata mereka yang kelabu bersinar suram saat mereka mengikuti Rip ke bawah. Rip bergerak lebih dekat, ekornya tegang dan tinggi di belakangnya. Bulunya yang kelabu meremang. Ia melengkungkan punggung, siap-siap menyerang. "Dia sudah siap," kata Crystal padanya. "Alison akan memenuhi kebutuhanmu," kata Mom pada kucing itu. "Crystal dan aku sudah tidak punya urusan lagi di sini. Kami akan meninggalkan tempat ini selamanya. Tapi Alison akan tetap di sini, agar kau bisa tetap hidup." "Tidak!" seruku, lalu aku meronta-ronta sekuat tenaga, berusaha membebaskan diri. Ternyata aku berhasil. Aku bebas dari cengkeraman Crystal dan aku mundur sampai terpojok di dinding. Crystal dan Mom terpekik, tapi Rip tidak berhenti. Ia terus melangkah ke arahku dengan punggung melengkung dan bulu meremang. Aku melayangkan pandang ke sekitarku. Ke mana aku bisa lari? pikirku. Kucing-kucing hantu itu sudah berada di belakang Rip. Cakar mereka bergerak, seperti berjalan. Tapi sebenarnya mereka melayang di atas lantai. Dengan mendesis dan mengerang mereka membentuk barikade. Aku tak mungkin bisa melewati mereka. Tak ada tempat untuk lari. Dengan satu lengkingan nyaring, Rip mengambil ancang-ancang. Dia akan melompat ke arahku. Dia akan mencakarku. Aku merembet di tembok, berusaha menghindar. Tapi aku tahu usahaku tak ada gunanya. Kucing-kucing hantu itu membentuk barisan yang kuat di belakang Rip. Rip berdiri lebih tinggi dengan kaki belakangnya. Sepasang kaki depannya mengoyak udara. Aku siap-siap merunduk. Aku akan menghindari terkamannya, pikirku, lalu akan kucoba menembus blokade kucing-kucing hantu itu. Tubuhku tegang. Kutunggu kucing setan itu melompat ke arahku. Aku memasukkan tanganku yang gemetar ke saku celanaku, dan merasakan sesuatu di kantongku. Apa ini? Ada apa di sakuku? Tanganku meraba-raba, dan aku menemukan tikus putar dari plastik itu. Rupanya, ketika sedang membereskan kamarku, aku memasukkan tikus itu ke dalam saku celanaku. Rip maju lebih dekat. Aku bersiap-siap merunduk. Sebuah suara di puncak tangga membuat kami semua terkejut dan menoleh. Aku mendengar bunyi langkah kaki berat. Lalu Ryan muncul. "Kau di sini rupanya," serunya. "Alison, aku sudah mencarimu ke mana-mana. Sedang apa kau di bawah sana?" Aku ingin berteriak memperingatkannya. Tapi Ryan sudah melesat turun. "Jangan!" teriakku sambil memberi isyarat mengusirnya. "Ryan, jangan turun. Cari bantuan! Jangan turun kemari!" Ia tiba di lantai ruang bawah tanah dan menembus blokade kucing-kucing hantu itu. Ia berlari menghampiriku. "Alison, kau tidak apa-apa?" "Ryan... jangan...," seruku. Sudah terlambat. Rip menyeringai dan mengeluarkan desisan melengking. Lalu ia melompat dan dengan marah mengayunkan cakarnya ke lengan Ryan. 27 “AHHHH?" Ryan berseru kesakitan. Aku terperangah melihat luka cakaran yang dalam di lengannya. Rip menengadah dengan senang, lalu matanya terpejam puas. Dengan satu teriakan marah aku maju dari tembok. "Ryan, cepat lari!" seruku. Aku mengeluarkan tikus plastik itu dari saku celanaku dan melemparkannya pada Rip. Tikus itu menghantamnya, lalu terpental ke lantai. Aku menarik Ryan ke seberang ruangan, sementara kucing-kucing hantu itu memandangi tikus plastik tersebut. Akankah mereka percaya bahwa tikus itu tikus sungguhan? Ternyata ya! Kucing-kucing berteriak nyaring, lalu menyerbu tikus plastik itu. Sambil mencakar dan mendesis mereka mengerumuni benda itu, melewati Rip, berkelahi memperebutkannya. Aku terperangah melihat mereka berkelahi dan saling menggigit. Rip tidak tampak lagi di tengah sosok-sosok yang berkelahi itu. Kucing-kucing lain menginjak-injaknya, menimpanya sampai ia tergeletak lemas dan tak bergerak. Terkubur di bawah mereka. Terkubur selamanya? Kucing-kucing hantu itu berputar makin cepat dan makin cepat, memamerkan gigi dengan mata berkilat-kilat dan cakar menyambar-nyambar. Lebih cepat... Sekarang semuanya melengking begitu nyaring, sampai semuanya menjadi satu nada tinggi yang memekakkan telinga. Aku menutupi telingaku dengan tangan. Kemudian sosok-sosok kucing yang berkelahi itu menghilang. Suasana sunyi. Masih sambil menutupi telingaku, aku melihat ke lantai. Tikus plastik itu tergeletak miring. Kucing-kucing hantu tadi sudah lenyap. Rip juga. Ia sudah menghabiskan kesembilan nyawanya. "Ryan... kita selamat," kataku. Tapi di tengah segala ketegangan itu aku telah melupakan Crystal dan ibunya. Dan sekarang mereka berdua maju serempak untuk menyerang kami. 27 RYAN dan aku terpaku. Telingaku masih berdenging akibat lengkingan kucing-kucing hantu itu. Aku merasa limbung dan gemetar. Crystal dan ibunya mendekati kami dengan wajah keras dan dingin. Lalu senyum lebar menghiasi wajah mereka Crystal merangkul leherku. "Terima kasih, Alison!" serunya. "Terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami juga!" Ia memelukku erat-erat, begitu pula ibunya. Kami bertiga berdiri di tengah ruangan. Sangat senang dan lega. Kemudian suara Ryan menyela kegembiraan kami. "Tak kusangka mereka bisa tertipu oleh tikus plastik itu," katanya sambil menggeleng. "Kucing tetap kucing," sahutku. "Meski kucing hantu sekalipun." "Crystal dan aku akan pergi," kata Mom sambil memeluk putrinya dengan tangannya yang normal. "Sekali lagi terima kasih, Alison. Terima kasih banyak." "Kalian akan ke mana?" tanyaku. "Pergi sejauh mungkin dari sini," sahut Mom dengan serius. "Aku juga," kataku. Kusambar lengan Ryan dan kutarik dia ke tangga. Tak lama kemudian kami sudah keluar dari rumah itu. Aku tak sekali pun menoleh ke belakang. *** "Bisakah kau duduk sebentar dan menceritakan apa yang terjadi padamu?" kata Mom sambil melongok ke dalam kamarku. "Tidak bisa," kataku tak sabar. "Aku sudah terlambat untuk latihan. Mom kan tahu, Mr. Keanes selalu marah kalau ada yang terlambat datang. Apalagi ini latihan terakhir kami." Hari itu hari Sabtu sore. Nanti malam kami akan mementaskan drama kami. Gugupkah aku? Jelas. "Ayahmu dan aku jarang melihatmu akhir-akhir ini," Mom menggerutu. "Tanner juga kehilangan kau." "Nanti, sesudah pertunjukan, aku akan meluangkan waktu untuk semuanya," janjiku. "Sekarang aku mesti pergi, Mom. Aku bahkan belum hafal semua lagunya, dan..." "Hei!" Ryan muncul melewati ibuku. "Kita sudah terlambat, Alison. Kau kenapa?" Aku mendesah dan cuma angkat bahu sebagai jawaban. Mom menghilang ke ruang bawah. "Nanti aku datang ke pertunjukanmu," serunya. "Dad dan aku akan duduk di baris depan. Dan membawa camcordernya." "Oh, bagus," gumamku sambil memutar-mutar mata. Aku menoleh pada Ryan. “Aku tegang sekali," erangku. "Setidaknya kita tidak perlu mencemaskan kucing-kucing itu lagi," sahutnya. "Ya, tidak ada lagi kucing hantu. Hidup kita kembali normal," aku setuju. "Sekarang kita hanya perlu memikirkan hal-hal biasa." Lalu dari ruang sebelah terdengar lengkingan nyaring yang membuat kami terperanjat. 29 RYAN melesat ke ruangan tersebut. Aku lebih cepat. Aku melewatinya, masuk ke kamar adikku. “Tanner!” seruku. Anak itu sedang berlutut di tempat tidurnya, menggigiti kuku-kukunya. Di depannya seekor kucing raksasa sedang mengaum dan mengayun-ayunkan cakarnya yang tajam. "Tanner, kukira kau sudah mengembalikan video itu!" seruku. "Kau kan tahu film itu membuatmu ketakutan." "Aku... aku cuma ingin lihat sebentar saja," katanya terbata-bata dengan suaranya yang kecil. Aku mematikan video itu. Kucing raksasa itu hilang dari layar. "Kau membuat aku dan Ryan ketakutan setengah mati," aku memarahinya. "Jangan menjerit-jerit seperti itu lagi." "Tapi aku harus menjerit," Tanner bersikeras. "Film itu seram sekali." Kuambil kaset video itu dan kumasukkan ke kotaknya, lalu kuletakkan di rak tinggi agar Tanner tak bisa mengambilnya. Kucarikan dia film kartun. "Kau mau tidak nonton sisa film itu untukku?" tanya Tanner. "Kurasa tidak," sahutku. "Aku dan Ryan tidak suka kucing lagi." Kemudian aku dan Ryan keluar lewat pintu belakang. Aku melindungi mataku dari cahaya matahari yang terang. "Hari yang indah," gumamku. "Hari yang indah untuk terlambat datang latihan," kata Ryan. Kami berjalan di samping garasi. Aku menarik napas panjang, menghirup aroma segar rumput yang baru dipotong. "Dad baru saja memotong rumput," kataku. "Aku senang baunya." Ryan tampaknya tidak mendengar. Matanya tertuju pada sejumput rumput tinggi yang tidak terpangkas di sudut garasi. Sekonyong-konyong ia membungkuk dan menjulurkan wajahnya ke tengah rumput tinggi itu. "Hei, kau kenapa sih?" seruku. Ryan mengangkat kepala dan menoleh padaku. Di antara giginya ada seekor tikus besar yang kelihatannya enak. "Hei, berikan padaku!" tuntutku. "Aku lebih dulu melihatnya." Ia menggeleng; tikus itu tergantung-gantung di mulutnya. "Berikan!" kataku. Aku mengayunkan cakar depanku ke arahnya. "Ayolah, Ryan, berikan padaku. Aku lebih dulu melihatnya." END Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Convert & Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu